liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
MASTER38 MASTER38 MASTER38 MASTER38 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 COCOL88 COCOL88 COCOL88 COCOL88 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MAHJONG69 MAHJONG69 MAHJONG69 MAHJONG69 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 ZONA69 ZONA69 ZONA69 NOBAR69 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38
SLOT GACOR HARI INI SLOT GACOR HARI INI
BOSSWIN168 BOSSWIN168
BARON69
COCOL88
MAX69 MAX69 MAX69
COCOL88 COCOL88 BARON69 RONIN86 DINASTI168
Sejarah THR di Indonesia, Berawal dari Persekot

Menjelang Hari Raya Aidilfitri atau Hari Raya Aidilfitri, pembahasan tentang Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi perbincangan hangat, baik di media massa maupun media sosial. Pasalnya, pendapatan non-gaji para pekerja ini adalah sesuatu yang mereka tunggu-tunggu.

Pemerintah baru-baru ini secara resmi mengeluarkan peraturan tentang pembayaran THR untuk Hari Raya Idul Fitri 2022. Menurut peraturan, THR harus diberikan kepada semua karyawan/buruh. Dalam ketentuan tersebut, pemerintah juga menetapkan bahwa THR harus dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum Idulfitri atau pada minggu-minggu terakhir Ramadhan.

Namun, apakah THR sebagai pendapatan non-gaji pekerja di Indonesia sudah ada sejak lama, dan siapa yang memulainya? Simak ulasan singkat berikut ini.

Sejarah munculnya THR

Padahal, dunia kerja Indonesia tidak mengenal adanya tunjangan atau gaji tambahan menjelang Idulfitri. Namun pada tahun 1952, Perdana Menteri Indonesia ke-6 Soekiman Wirjosandjojo memulai program pemberian uang muka kepada pegawai negeri sipil (PNS) yang pada saat itu masih disebut pelayanan publik.

Soekiman sendiri berasal dari Parti Masyumi yang merupakan partai politik Islam terbesar di Indonesia pada era Demokrasi Liberal. Meski Kabinet Soekiman berumur pendek, yakni hanya satu tahun (1951-1952), ia mewariskan beberapa program kesejahteraan bagi pegawai negeri, termasuk pengenalan Aidilfitri ini. Tujuannya agar PNS mendukung kebijakan dan program pemerintah.

Pada awalnya konsep THR bagi PNS berupa uang muka atau pinjaman uang muka. Nanti PNS ini harus mengembalikannya dalam bentuk pemotongan gaji.

Kebijakan lanjutan Aidilfitri ini berlanjut setelah Kabinet Soekiman. Padahal, pada masa Perdana Menteri RI ke-8 Ali Sastroamidjojo, kebijakan libur Idul Fitri diperkuat melalui Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Uang Muka Hari Raya Bagi Pegawai Negeri Sipil.

Jumlah uang yang diterima pun bervariasi mulai dari Rp 125 hingga Rp 200 per orang dan dibagikan pada akhir Ramadan atau menjelang Idul Fitri.

Namun, sesuai target, uang muka ini hanya berlaku untuk pegawai negeri, bukan pegawai swasta. Oleh karena itu, dalam perjalanannya kebijakan ini banyak mendapat kritik, terutama dari kaum buruh. Alasannya, pemberian THR hanya kepada PNS dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil.

Munculnya Hadiah Hari Raya sebagai Pelopor THR

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, munculnya konsep THR pada awalnya berupa uang muka dan hanya diberikan kepada PNS. Hibah terbatas untuk pegawai negeri ini menimbulkan keberatan, terutama dari karyawan.

Mengutip www.spkep-spsi.org, permintaan penerima voucher Aidilfitri semakin meluas tidak hanya di kalangan PNS. Bahkan, pada 13 Februari 1952 para buruh melakukan aksi mogok sebagai protes dan menuntut agar pemerintah memperluas cakupan tunjangan hari raya.

Sepanjang periode 1951-1952, tercatat ada 88 pemogokan buruh dan sebagian besar pemogokan terjadi pada hari-hari menjelang hari raya Idul Fitri.

Pada awalnya, pemerintah saat itu tidak memenuhi tuntutan buruh. Namun, selama dua tahun, salah satu organisasi buruh terbesar saat itu, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), gencar menyerukan kritik dan menuntut agar tunjangan Idul Fitri diperluas.

Perjuangan para buruh akhirnya membuahkan hasil dan memunculkan istilah “day gift”. Pada tahun 1954, Menteri Tenaga Kerja RI SM Abidin mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 3676/54 tentang Hadiah Hari Raya. Dalam Surat Edaran ini disebutkan bahwa setiap perusahaan memberikan “hadiah liburan” kepada karyawannya sebesar seperdua belas dari gajinya, minimal Rp 50 dan maksimal Rp 300.

Namun, karena hanya berupa himbauan, surat edaran ini tidak menjamin “hadiah hari raya” bagi pekerja/buruh. Oleh karena itu, para buruh yang dipimpin oleh SOBSI terus menyuarakan tuntutannya kepada pemerintah.

Tuntutan kaum buruh tentang “Hadiah Luas” sebagai hal yang harus ditanggapi pemerintah hanya pada era Demokrasi Terpimpin, ketika Ahem Erningpraja menjadi Menteri Tenaga Kerja.

Mengutip www.mediakasasi.com, Ahem Erningpraja mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1961 yang menyebutkan bahwa “hadiah hari raya” harus dibayar dan merupakan hak pegawai dengan waktu kerja sekurang-kurangnya tiga bulan.

Aturan ini terus dianut hingga era Orde Baru. Baru pada tahun 1994 istilah THR diperkenalkan dengan peraturan tentang skema pembagian.

Aturan Resmi Tunjangan Cuti

Sejak tahun 1994, pekerja/buruh di Indonesia tidak lagi menerima “hadiah Idul Fitri” melainkan Tunjangan Hari Raya atau THR. Penetapan THR ini dilakukan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya bagi karyawan swasta di perusahaan.

Menteri Tenaga Kerja (Menaker) yang menjabat saat itu Abdul Latief mengeluarkan ketentuan bahwa pengusaha wajib memberikan THR kepada karyawan yang telah bekerja selama tiga bulan atau lebih.

Permenaker juga mengontrol besaran THR yang diberikan kepada karyawan. Hal ini diatur dalam Pasal 3 Ayat (1a) dan (1b) Peraturan Menteri Tenaga Kerja 04/1994. Pasal 3 Ayat (1a) menyebutkan bahwa pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan terus menerus atau lebih menerima THR sebesar satu bulan upah.

Sedangkan ketentuan besaran THR bagi pegawai yang telah bekerja selama tiga bulan tetapi kurang dari satu tahun diatur dalam Pasal 3 Ayat (1b). Besaran THR untuk kategori ini diberikan secara proporsional dengan masa kerja, yaitu masa kerja dibagi 12 kemudian dikalikan gaji sebulan.

Pemerintah saat itu juga mengatur perusahaan yang tidak mampu membayar THR. Hal ini diatur melalui Pasal 7 Permenaker 04/1994 yang terdiri dari tiga poin antara lain:

Pengusaha yang karena keadaan perusahaannya tidak mampu membayar THR dapat mengajukan permohonan deviasi besaran THR kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan. Pengajuan permohonan sebagaimana pada ayat (1) harus diajukan paling lambat 2 bulan sebelum Hari Raya Keagamaan terdekat. Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan menetapkan besaran THR, setelah mempertimbangkan hasil pemeriksaan keuangan perusahaan.

Kebijakan ini menjadi cikal bakal pengaturan THR sampai sekarang. Namun, pada awal pelaksanaannya, pemberian THR belum menyentuh seluruh elemen pekerja swasta. Pasalnya, saat itu belum ada aturan mengenai pemberian THR bagi karyawan baru (masa kerja kurang dari tiga bulan) dan karyawan berstatus kontrak.

Peraturan THR Berdasarkan Permenaker Nomor 6 Tahun 2016

Aturan pokok mengenai pemberian THR di era reformasi sebenarnya masih menggunakan aturan yang tertuang dalam Permenaker 04/1994. Review regulasi THR baru dilakukan pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, tepatnya pada tahun 2016 melalui Permenaker No 6 Tahun 2016.

Dalam peraturan ini disebutkan bahwa THR juga diberikan kepada karyawan yang telah bekerja minimal satu bulan. Besaran THR yang diterima dengan menggunakan cara perhitungan yang ditentukan dalam Permenaker 04/1994 yaitu masa kerja dibagi 12 kali gaji per bulan. Artinya, jika seseorang sudah bekerja selama sebulan, maka perhitungan THR adalah 1/12 kali upah atau gaji.

Upah yang dimaksud adalah upah tanpa bunga, yaitu gaji bersih atau gaji pokok termasuk tunjangan tetap.

Kewajiban memberikan THR juga diberikan kepada pekerja berstatus pekerja kontrak, yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas. Termasuk mereka yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Hal ini diatur secara jelas dalam Pasal 3 Ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 6/2016, yang memiliki dua isi utama, yaitu:

Pekerja/buruh yang telah bekerja selama dua belas bulan atau lebih, upah satu bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam dua belas bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan. Pekerja/buruh yang bekerja kurang dari dua belas bulan, gaji bulanan dihitung berdasarkan upah rata-rata yang diterima setiap bulan selama masa kerja.

Permenaker 6/2016 menjadi acuan aturan pemberian THR hingga saat ini. Termasuk Surat Edaran (SE) Nomor M/1/HK.04/IV/2022 yang dikeluarkan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah pada 6 April lalu.