liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
MASTER38 MASTER38 MASTER38 MASTER38 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 COCOL88 COCOL88 COCOL88 COCOL88 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MAHJONG69 MAHJONG69 MAHJONG69 MAHJONG69 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 ZONA69 ZONA69 ZONA69 NOBAR69 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38
SLOT GACOR HARI INI SLOT GACOR HARI INI
Menilik Jalan Panjang DJP, Sang Pengisi Pundi Negara

Pajak Penghasilan atau PPh merupakan salah satu sumber pendapatan nasional terbesar. Pajak atas penghasilan/penghasilan ini dikenakan kepada orang pribadi maupun badan usaha. Penghasilan kena pajak tidak hanya dari gaji, tetapi juga dari laba usaha, honorarium, hadiah dan penghasilan lainnya.

Sistem PPh saat ini tidak hanya muncul, tetapi berubah dari waktu ke waktu. Sistem perpajakan modern diperkenalkan pada masa kolonial, yaitu pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Sekilas Tentang Sejarah PPh

Sistem perpajakan penghasilan modern dimulai dengan diperkenalkannya Pajak Penghasilan pada tahun 1920 oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Munculnya pajak ini disusul dengan Pajak Perusahaan tahun 1925 yang secara khusus mengatur pajak bagi badan usaha.

Perubahan pajak penghasilan di Hindia Belanda terus berlanjut, dengan diberlakukannya Pajak Penghasilan 1932 untuk wajib pajak orang pribadi. Sistem tersebut memperkenalkan asas sumber, jangka waktu pemanggilan wajib pajak dan batas penghasilan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi. Sedangkan tarifnya masih sesuai ketentuan dalam PPh 1920.

Setelah kemerdekaan, ketentuan perpajakan penghasilan masih mengacu pada aturan perpajakan yang ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Perubahan yang signifikan dapat dilihat dari munculnya Pajak Penghasilan pada tahun 1957, antara lain dengan diperkenalkannya mekanisme self paying tax (MPS). Mekanisme inilah yang menjadi cikal bakal sistem penilaian diri yang berlaku saat ini.

Ketentuan tentang Pajak Penghasilan ini terus digunakan sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, ketika pemerintah memutuskan untuk melaksanakan reformasi perpajakan.

Reformasi perpajakan yang dilaksanakan pada tahun 1983 menjadi dasar sistem perpajakan yang digunakan saat ini. Reformasi perpajakan tahun 1983 menghasilkan UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan atau UU PPh. Undang-undang ini merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang mengatur pajak penghasilan setelah Indonesia merdeka.

Dalam perjalanannya, UU PPh tercatat mengalami dua kali perubahan di era Orde Baru, yakni melalui UU No. 7 Tahun 1991 dan UU No. 10 Tahun 1994.

Pasca reformasi tahun 1998, peraturan perpajakan khususnya pajak penghasilan terus mengalami perubahan sesuai dengan dinamika zaman. Pada masa awal reformasi, yaitu pada masa peralihan pemerintahan dari Presiden Soeharto ke Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, kebijakan terkait perpajakan tidak banyak berubah. Perubahan kebijakan dimulai pada tahun 2000.

Seperti disebutkan sebelumnya, perubahan kebijakan terkait pajak penghasilan baru keluar pada tahun 2000, atau dua tahun setelah era reformasi dimulai. Perubahan itu dilakukan guna memperkuat penerimaan pajak yang semakin berperan sebagai andalan pembiayaan keuangan negara.

Pasca reformasi 1998, ada dua perubahan penting dalam kebijakan PPh. Dua perubahan tercipta dari terbitnya UU No. 17 Tahun 2000 dan UU No. 36 Tahun 2008. Berikut penjelasan kedua UU tersebut yang dirangkum dari berbagai sumber.

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000

UU ini berisi amandemen atas UU No. 7 Tahun 1983 atau UU Pajak Penghasilan. Arahan dan tujuan penyempurnaan undang-undang ini adalah:

Meningkatkan pajak yang lebih adil dalam pengenaan pajak Memberikan kemudahan kepada wajib pajak Mendukung kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri pada bidang usaha tertentu dan bidang prioritas tertentu.

Berdasarkan arah dan tujuan penyempurnaan, UU PPh yang sebelumnya diubah melalui UU No. 10 Tahun 1994 akhirnya diubah lagi. Hal-hal penting yang tercantum dalam UU 17/2000 antara lain:

Mengubah struktur tarif pajak bagi wajib pajak orang pribadi dan badan. Hal ini dilakukan untuk memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi setiap kelompok wajib pajak Sistem self assesment tetap dipertahankan namun dengan perbaikan terus menerus. Penyempurnaan terutama dilakukan pada sistem dan prosedur pembayaran pada tahun berjalan, agar tidak mengganggu likuiditas wajib pajak yang menjalankan usahanya. Berdasarkan Undang-Undang ini, Wajib Pajak dengan penghasilan tertentu diperbolehkan menggunakan norma untuk menghitung penghasilan neto, asalkan wajib melakukan pencatatan.

UU 17/2000 juga mengatur tentang insentif pajak penghasilan yang dapat diberikan. Hal ini dilakukan guna mendorong investasi langsung di Indonesia, baik berupa penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri.

Selain itu, pengaturan insentif juga sejalan dengan kesepakatan negara-negara ASEAN, mengenai ‘Statement of Bold Measures’ yang juga memuat komitmen ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang dideklarasikan di Hanoi pada tahun 1999.

Undang-undang ini menitikberatkan pada penguatan pajak sebagai fungsi anggaran, dimana pajak semakin didorong untuk menjadi tulang punggung pembiayaan negara. Banyak perubahan yang dilakukan. Tercatat ada enam belas pasal yang mengalami perubahan, tiga pasal dihapus, dan ditambah tiga pasal baru.

Dalam undang-undang ini, berbagai kemudahan diberikan kepada Wajib Pajak untuk mempercepat proses self assessment. Begitu juga dengan kemudahan prosedur pembayaran pajak agar tidak mengganggu likuiditas wajib pajak juga terkendali.

Selain memperluas objek dan subjek perpajakan, tarif juga diubah menjadi lebih proporsional dan tidak memberatkan. Hal ini dilakukan untuk mendorong iklim investasi yang lebih kondusif, yang pada akhirnya mampu menggerakkan roda perekonomian.

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

Undang-undang ini merupakan amandemen keempat atas Undang-Undang Pajak Penghasilan. Munculnya Undang-Undang ini didasarkan pada pertimbangan perlunya perubahan peraturan perpajakan sebagai akibat dari perkembangan sosial ekonomi yang pesat sebagai akibat dari pembangunan nasional dan globalisasi.

Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi. Serta meningkatkan dan mengoptimalkan penerimaan negara, dengan tetap mempertahankan sistem self assessment.

Arahan dan tujuan penyempurnaan UU Pajak Penghasilan melalui UU 36/2008 antara lain:

Meningkatkan keadilan pengenaan pajak Memberikan kemudahan kepada wajib pajak Memberikan kemudahan dalam administrasi perpajakan Memberikan kepastian hukum, konsistensi dan transparansi Mendukung kebijakan pemerintah dalam meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia.

Munculnya UU 36/2008 bisa dikatakan sebagai reformasi terbesar setelah UU PPh dikeluarkan pada tahun 1983. Dua puluh enam pasal diubah, tiga pasal ditambah dan satu pasal dihapus. Hampir semua artikel telah berubah.

Selain itu, sistem administrasi perpajakan dipermudah dan memberikan banyak kemudahan dalam prosedur pembayaran pajak. Hal ini dimaksudkan untuk menjaring lebih banyak wajib pajak.

Pemerintah juga menerapkan sunset policy dengan menghapus denda bagi wajib pajak yang menunggak bahkan tidak membayar pajak. Kebijakan ini dikeluarkan sebagai upaya untuk menarik lebih banyak wajib pajak.

Kemudian, untuk bidang usaha tertentu juga diberikan fasilitas atau pembebasan pajak. Hal ini bertujuan untuk mendukung perkembangan industri dalam negeri yang diharapkan berdampak pada perekonomian negara.

Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali melakukan perubahan alokasi pajak. Pada 7 Oktober 2021, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sepakat mengesahkan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).

Perubahan ketentuan perpajakan terbaru ini resmi berlaku dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP yang diundangkan pada 29 Oktober 2021. Perubahan ketentuan perpajakan dalam UU HPP juga mencakup perubahan. terkait PPh.

Mengutip www.kemenkeu.go.id, melalui UU HPP, pemerintah mengubah lapisan pendapatan perorangan (bracket) yang dikenai tarif PPh paling rendah 5%. Dari sebelumnya Rp 50 juta menjadi Rp 60 juta. Sedangkan aturan tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak berubah.

Kenaikan batas lapisan tarif terendah menguntungkan masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah untuk membayar pajak penghasilan lebih rendah dari sebelumnya. Pemerintah juga mengubah tarif dan menambahkan lapisan pajak penghasilan orang pribadi sebesar 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar.

Secara rinci, lapisan PPh yang terdapat dalam UU HPP adalah sebagai berikut:

0-Rp 60 juta dikenakan tarif 5% > Rp 60-250 juta dikenakan tarif 15% > Rp 250-500 juta dikenakan tarif 25% > 500 juta-5 miliar dikenakan tarif 30% > Rp 5 miliar dikenakan tarif 35%.

Melalui UU HPP, pemerintah juga menetapkan penghitungan PPh final dengan tarif 0,5% bagi wajib pajak pengusaha perorangan dengan penghasilan di atas Rp 500 juta. Sedangkan Wajib Pajak orang pribadi dengan penghasilan di bawah atau hanya mencapai Rp 500 juta, tidak dikenakan PPh Final.

Perlu diingat bahwa fasilitas berupa PPh Final tidak akan berlaku selamanya. Pasalnya, masa berlaku wajib pajak orang pribadi hanya tujuh tahun sejak diterbitkannya PPh No 23 Tahun 2018. Artinya, pada tahun 2025 PPh akan berlaku kembali dengan tarif yang berlaku sesuai Pasal 17 Ayat (1a) HPP. Hukum.

UU HPP HPP juga menetapkan tarif PPh Badan sebesar 22% yang akan diterapkan mulai tahun 2022 dan seterusnya. Hal ini sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai meningkatkan pendapatan dari pajak penghasilan dengan tetap mampu menjaga iklim investasi. Tarif ini lebih rendah dari rata-rata tarif pajak penghasilan badan negara-negara ASEAN (22,17%), negara-negara OECD (22,81%), negara-negara Amerika (27,16%), dan negara-negara G-20. (24,17%).

UU HPP juga memiliki terobosan baru yaitu mengintegrasikan database kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan. Pemerintah meyakini bahwa penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai pengganti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan memudahkan Wajib Pajak orang pribadi untuk menggunakan hak dan menjalankan kewajiban perpajakannya.

Namun demikian, penggunaan NIK tidak berarti seluruh warga negara Indonesia wajib membayar pajak penghasilan. Pembayaran PPh tetap memperhatikan pemenuhan syarat subyektif dan obyektif, yaitu jika seseorang memiliki penghasilan tahunan di atas PTKP atau seorang pengusaha perorangan memiliki penghasilan kotor melebihi Rp 500 juta per tahun.

Selain itu, kemunculan UU HPP juga diikuti dengan terbitnya regulasi yang menyasar sektor ekonomi digital. Misalnya, ketentuan pajak transaksi keuangan di sektor fintech diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022.

Berdasarkan aturan tersebut, pemerintah akan mengenakan pajak penghasilan atas bunga pinjaman dalam penyediaan layanan peer to peer lending. Pendapatan bunga yang diperoleh peminjam dikenakan withholding tax sebesar 15% untuk wajib pajak dalam negeri atau 20% untuk wajib pajak luar negeri.

Undang-undang HPP ini juga diikuti dengan ketentuan perpajakan terkait mata uang kripto atau aset kripto melalui PMK Nomor 68 Tahun 2022. Perlakuan PPh terhadap aset kripto berlaku terhadap penghasilan yang diterima dari penjualan, pelaksanaan perdagangan elektronik dan penambangan aset kripto. .

Dalam peraturan ini disebutkan bahwa penjualan aset kripto dikenakan PPh Pasal 22 bersifat final dengan tarif sebesar 0,1% dari nilai transaksi kripto, tidak termasuk PPN dan PPnBM. PPh final dipungut, disimpan dan dilaporkan oleh tata niaga. Jika penyelenggara perdagangan bukan pedagang fisik, maka tarif yang dikenakan adalah 0,2%.

UU HPP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian reformasi perpajakan yang telah dilakukan selama ini, baik reformasi administrasi maupun reformasi kebijakan.

Keberadaan regulasi ini juga akan menjadi pijakan yang sangat penting bagi proses reformasi perpajakan selanjutnya. Pelaksanaan berbagai ketentuan yang tertuang dalam UU HPP diharapkan dapat berperan penting dalam mendukung upaya percepatan pemulihan ekonomi dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.