Kasus perpeloncoan di dunia pendidikan kembali memakan korban. Perbuatan warisan feodalisme ini merenggut nyawa seorang mahasiswa Politeknik Riau (PCR) Caltex akibat tenggelam di Sungai Kampar, Riau.
Kronologis kejadian bermula ketika korban, CAK (19) dan ketiga temannya diminta oleh orang tuanya untuk mandi di sungai dengan mata tertutup. CAK hanyut di sungai dan baru ditemukan lima hari setelah kejadian. Pihak kampus menyebut acara camping tersebut bukan merupakan kegiatan resmi kampus.
Tindakan perpeloncoan yang mengakibatkan luka-luka dan kematian telah berulang kali terjadi di Indonesia. Akarnya kembali ke zaman kolonial Belanda, berlanjut selama pendudukan Jepang. Namun kabut asap saat itu sebenarnya dikendalikan oleh pihak sekolah, dengan aturan yang ketat, dan tidak menimbulkan korban jiwa.
Penjajahan Belanda, Pelonco di Stovia
Melansir dari Historia, Mohammad Roem dalam Antologi Sejarah Jilid 3 menceritakan pengalaman seorang pemula saat masuk pesantren, Stovia (Sekolah Kedokteran Bumiputera) pada tahun 1924.
Plonco pada waktu itu dikenal sebagai “ontgroening”. Kata groen artinya hijau, melambangkan mahasiswa baru yang masih hijau. Ontgroening bertujuan untuk menghilangkan warna “hijau”.
“Dia harus dirawat agar dalam waktu singkat dia menjadi dewasa, berteman dari seluruh Stovia,” kata Roem.
Di Stovia ontgroening berlangsung selama tiga bulan, namun tidak dapat dilakukan pada waktu belajar dan pada saat istirahat. Kegiatan ini diawasi secara ketat agar tidak terjadi sesuatu yang melebihi batas.
Materi ontgroening pada saat itu hanya mengenalkan latar belakang siswa. Kata Roem, dia yang orang Jawa diminta menghafal aksara Jawa terbalik.
“Waktu (ontgroening) terbatas… masih banyak waktu di luar itu (waktu belajar dan istirahat) dan memang suasananya ramai selama 3 bulan pertama,” kata Roem.
Ontgroening di balik dinding asrama STOVIA tidak boleh mencukur rambut siswa dan hanya dapat dilakukan di lingkungan sekolah.
Praktek Pemusnahan Zaman Jepang Hingga Saat Ini
Masa Ontgroening mengubah istilah menjadi “Pelonco” pada masa pendudukan Jepang. Saat itulah praktek defoliasi dimulai di Ika Daigaku atau sekolah kedokteran. Kata perpeloncoan berasal dari kata plonco yang artinya kepala gundul.
“Hanya anak kecil yang botak saat itu. Sehingga anak-anak botak muda perlu diberi ilmu dan bimbingan untuk masa depan mereka,” kata mahasiswa Ika Daigu (FK), seperti dikutip R. Darmanto Djjojodibroto dalam Tradisi Kehidupan Akademik.
Di Jepang, hanya kaisar, sebagai keturunan dewa matahari, yang boleh memiliki rambut, sehingga menjadi kebiasaan bagi pria untuk mencukur rambut pada masa itu.
Praktik perpeloncoan berlanjut hingga revolusi kemerdekaan, misalnya di Universitas Indonesia pada April 1949, Klaten, Solo, dan Malang. Pada tahun 1950-an banyak sekolah menengah dibuka, praktik tirani tidak lagi mengacu pada intimidasi siswa baru, tetapi dimarahi dan diperintah oleh senior.
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Konsentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa yang dekat dengan PKI, menentang perpeloncoan tersebut.
Kedua organisasi ini menganggap rookie sebagai warisan buruk Belanda dan Jepang. Perpeloncoan kemudian dilarang dan diganti namanya, mulai dari “Masa Bakti Taruna” (1963) hingga Masa Prajabatan Mahasiswa (Mapram) tahun 1968 pada tahun 60-an.
Pada tahun 90-an kegiatan ini dikenal dengan Pekan Orientasi Studi (1991) dan terus berganti istilah menjadi Orientasi Studi Pengenalan Kampus (Ospek), Orientasi Studi Tinggi (OPT), atau Masa Orientasi Mahasiswa (MOS).
Hingga saat ini praktik senioritas melalui perploncoan apapun istilahnya terus berlanjut meski Mendiknas mulai dari Anies Baswedan, Muhadjir Effendy hingga Nadiem Makarim melarang keras perpeloncoan di sekolah dan perguruan tinggi.