liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
Sejarah Parsel, dari Era Prasejarah, Kerajaan, hingga Era Kolonial

Menjelang Hari Raya Aidilfitri, masyarakat Indonesia kerap berkirim kado kepada kerabat dan sahabat terdekat. Kado yang dibungkus manis mulai dari makanan hingga barang-barang rumah tangga sering disebut sebagai paket atau hampers.Menurut budayawan Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, tradisi ini sudah ada sejak lama dan tidak bisa dipisahkan dari budaya nusantara. selama hari tua.

“Tradisi memberi sesuatu dimulai dengan sesaji kepada agama gaib atau prasejarah,” kata Agus seperti dikutip Antara, Jumat (21/4).

Kelompok masyarakat Indonesia pada masa prasejarah memiliki budaya yang sederhana, kata Agus.Individu yang hidup pada masa itu tidak atau belum terbebas dari hal-hal gaib dan segala bentuk kesaktian. Mereka menganggap kekuatan tertinggi berada di alam gaib sebagai pengatur perjalanan hidup.

Hal inilah yang menyebabkan masyarakat pada masa itu selalu menjaga keharmonisan hidup dengan sikap arif dan religius. Perwujudan sikap religius terkandung dalam konsep saling memberi. Mulai dari uang keagamaan yang sengaja disisihkan untuk kegiatan keagamaan, amal, hingga hadiah.

Konsep pemberian kemudian berkembang, tidak hanya dari perspektif agama, tetapi juga dari perspektif sosial. Pemberian juga terdiri dari upeti atau pajak wajib untuk kebaikan bersama, upacara pemberian hadiah, penghargaan, dan cinderamata potlatches.

Penjelasan berbeda datang dari sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, yang menganggap tradisi ini berakar pada momen liburan panen kerajaan abad ke-16. Saat itu, masyarakat mengirimkan hasil panennya setelah panen kepada raja.

“Saat raja mengadakan pesta panen, biasanya beliau akan menyiapkan hasil olahan dan berbagai jenis makanan serta manisan yang akan dibawa pulang oleh rakyat sendiri,” kata Fadly seperti dilansir Antara.

Meskipun kerajaan nusantara runtuh dan memasuki era kolonial, tradisi bertukar hari raya antar keluarga tidak hilang, biasanya hadiah berisi ketupat, opor, gulai, rendang, dan manisan basah tradisional disajikan dalam keranjang. Fadly mengatakan, inilah keistimewaan masyarakat agraris.

Rantang juga dianggap sebagai simbol ikatan ketika diberikan sebagai hadiah. “Karena masyarakat secara spontan akan bereaksi. Sayang kalau dikembalikan keranjangnya kosong, lalu diisi lagi dengan makanan,” jelasnya.

Keluarga Eropa dari zaman kolonial juga mengalami tradisi ini. Biasanya mereka mendapatkan kue kering seperti nastar, kaastangel, lidah kucing, dan putri salju yang dikemas dalam toples.

Jika dulu pengiriman atau paket dilakukan secara timbal balik, namun Fadly berpendapat bahwa kini masyarakat sudah terbiasa mengirimkan paket secara satu arah. Seseorang dapat mengirim paket untuk mengungkapkan rasa terima kasih atau merayakan liburan tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Hal ini disebabkan pergeseran makna delivery yang sudah dikomersialkan.