Setelah tiga tahun tidak menerima pengunjung akibat pandemi Covid-19, mulai Sabtu (17/6) masyarakat dapat kembali mengunjungi Observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat.
Dalam akun Instagram @bosschaobservatory disebutkan bahwa wisata umum yang dijadwalkan setiap hari Sabtu akan menggunakan sistem kuota. Kuota maksimum kunjungan ke observatorium dibatasi hingga 100 orang per hari.
Program wisata yang dibuka pada tahap ini adalah wisata sore berpemandu yang akan dibagi menjadi dua sesi mulai pukul 08.30-12.00. Setiap sesi berlangsung selama 1-1,5 jam dengan kuota maksimal 50 pengunjung per sesi.
Pemandu akan menjadi astronom dan pendidik di Observatorium Bosscha. Untuk mengunjungi Bosscha, pengunjung terlebih dahulu harus mendaftar di situs resmi Observatorium Bosscha.
Biaya kunjungan ditetapkan sebesar Rp 50.000 per pengunjung dan setiap pendaftar hanya diperbolehkan mendaftarkan maksimal lima calon pengunjung. “Program ini merupakan program kunjungan awal, jadi masih sangat terbatas. Kami akan terus berupaya agar kesempatan mengunjungi Observatorium Bosscha semakin luas,” tulis akun tersebut, Kamis (15/6).
PENGAMATAN PENUTUPAN MATAHARI DI OBSERVATORI BOSSCHA (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/aww.)
Observatorium Modern Pertama di Asia Tenggara
Observatorium Bosscha didirikan atas prakarsa Karel Albert Rudolf Bosscha dengan Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (Asosiasi Bintang Hindia Belanda).
Mengutip dari situs resmi Observatorium Bosscha, pembangunan observatorium ini bermula dari cita-cita Karel Bosscha untuk membangun observatorium di Hindia Belanda. Untuk mewujudkan mimpinya tersebut, ia kemudian mengumpulkan fisikawan yang tertarik dengan astronomi dan membentuk perkumpulan yang akan mewujudkan ide membangun sebuah observatorium.
Karel Bosscha mendapat bantuan dari keponakannya RA Kerkhoven dan seorang astronom dari Hindia Belanda, Joan George Eardus Gijsbertus Voûte untuk mendirikan perkumpulan tersebut.
Usaha mereka berhasil. Pada tanggal 12 September 1920, Perhimpunan Astronomi Hindia Belanda atau Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereniging (NISV) didirikan dengan tujuan khusus ‘mendirikan dan memelihara observatorium astronomi di Hindia Belanda, serta memajukan ilmu astronomi’.
Pertemuan di Hotel Homann Bandung menghasilkan kesepakatan lain bahwa Karel Bosscha bersedia menjadi pemodal utama dan berjanji akan membantu pembelian teropong.
Observatorium yang dahulu dikenal dengan nama Bosscha Sterrenwacht selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 1 Januari 1923. Untuk menghormati prakarsa dan jasa Karel Bosscha, namanya diabadikan sebagai nama observatorium.
Saat itu, Bosscha Sterrenwacht merupakan satu-satunya observatorium modern di Asia Tenggara.
Menjadi Pelopor Pendidikan Astronomi di Indonesia
Pada 17 Oktober 1951, NISV secara resmi menyerahkan observatorium tersebut kepada pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah kemudian mempercayakan observatorium tersebut kepada Fakultas Ilmu Eksakta dan Ilmu Pengetahuan Alam (FIPIA) Universitas Indonesia.
Fakultas ini kemudian menjadi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung. Menurut informasi di situs resmi Observatorium Bosscha, seiring dengan perubahan tersebut, pendidikan astronomi di Indonesia resmi dibuka pertama kali di bawah Institut Teknologi Bandung (ITB).
Hingga saat ini, ITB masih menjadi satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan sarjana, pascasarjana, dan doktor di bidang astronomi dan astrofisika.
Pada tahun 2004, Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Pelestarian Budaya Nasional, dan pada tahun 2008 ditetapkan sebagai Objek Penting Nasional. Baru pada tahun 2017 Observatorium Bosscha ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 184/M/2017.
Observatorium Bosscha masih aktif digunakan hingga saat ini oleh para ilmuwan dan peneliti dari berbagai negara. Mereka mengunjungi Bosscha untuk melakukan pengamatan astronomi, menganalisis data astrofisika, dan mempelajari instrumentasi.
Tempat ini juga menjadi lokasi syuting beberapa film Indonesia seperti The Adventures of Sherina dan Satan’s Slaves 2.