Heboh atas Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI kembali menyedot perhatian publik setelah lebih dari dua puluh tahun kasus ini. Satgas Pengelolaan Hak Penagihan Dana BLBI alias Satgas BLBI arahan Presiden Joko Widodo hanya memiliki batas waktu hingga Desember 2023 untuk memburu 48 orang yang terlilit utang dan debitur dana BLBI.
Upaya pemerintah menuntaskan skandal tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Penagihan BLBI yang dikukuhkan pada 6 April 2021. Dalam dua tahun ke depan, Satgas harus bisa menjalankan kewajibannya . Rp 110,45 triliun dari obligor ini.
Rinciannya, Rp 84,8 triliun ditransfer dari dana yang disalurkan Bank Indonesia ke perbankan. Pada tahap penggunaan rekening 502 (untuk tambahan BLBI dan jaminan kosong) yang merupakan rekening pemerintah telah ditransfer Rp 17,76 triliun. Selanjutnya, penipuan di tingkat injeksi obligasi rekap ke perbankan sebesar Rp 431,6 triliun, dan pembayaran bunga Rp 600 triliun.
Inilah yang diperhitungkan dalam buku “Bantuan Likuiditas Bank Indonesia” karya Agus Pandoman sebagai potensi kerugian negara. Akibatnya, beban utang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN setiap tahun mencapai Rp 40 triliun, dan Rp 50 triliun harus dilaksanakan hingga 2021.
Berawal dari Upaya Penyelamatan
Kasus BLBI lahir dari dampak krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998. Berawal dari upaya pemerintah menyelamatkan perekonomian nasional dari keterpurukan rupiah hingga ke level 15.000 per dolar AS saat itu. Lemahnya mata uang Garuda terhadap dolar AS secara signifikan menyebabkan penarikan uang secara kolektif di bank-bank Indonesia pada tahun 1997.
Akibatnya, likuiditas di perbankan nasional tidak lama mengalir dan berujung pada kredit perbankan penuh sesak. Untuk mengatasi masalah likuiditas bank-bank tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sepakat berbagi beban melalui skema bantuan yang dikenal dengan Bantuan Kecairan BLBI Bank Indonesia.
International Monetary Fund (IMF) juga meminta Indonesia menyuntikkan dana bantuan ke beberapa bank yang mengalami krisis. Kemudian, pada Desember 1998, BI menggelontorkan bantuan kepada 48 bank di Indonesia melalui skema BLBI dengan total Rp 144,53 triliun.
Namun, pada tahun 2000, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya indikasi kerugian negara sebesar Rp 138,7 triliun dari penyaluran dana BLBI. Selain itu, temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan dana hingga Rp 54,5 triliun telah disalahgunakan oleh 28 bank penerima dana BLBI.
Menyebabkan Pelanggaran Massal
Kasus semakin memanas pada tahun 2002, ketika Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002. Instruksi tersebut menyangkut pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah memenuhi kewajibannya atau yang lalai dalam memenuhi kewajibannya.
Berdasarkan kebijakan tersebut, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) juga bertugas menerbitkan Surat Keputusan (SKL) bagi bank yang melunasi utangnya. Sedangkan yang belum membayar kewajiban akan dikenakan sanksi. Ada 12 debitur yang mendapat SKL pada masa pemerintahan Megawati.
Lahirnya Inpres banyak mengandung kejanggalan dengan menunjukkan pendekatan personal para debitur terhadap pemerintah saat itu. Debitur tersebut antara lain Hendra Liem (Bank Budi Internasional), The Nin King (Bank Danahutama), dan Ibrahim Risjad (Bank RSI).
Kemudian ada Sudwikatmono (Bank Surya), Siti Hardijanti Rukmana (Bank Yakin Makmur), Anthony Salim (Bank BCA), Suparno Adijanto (Bank Bumi Raya), serta Mulianto Tanaga dan Hadi Wijaya Tanaga (Bank Indotrade). Pengusaha berikutnya adalah Philip S. Widjaja (Bank Mashill), Ganda Eka Handria (Bank Sanho), dan Sjamsul Nursalim (Bank Dagang Nasional Indonesia).
Beberapa pejabat bank lain yang kedapatan menyalahgunakan dana BLBI juga diburu dan dibawa ke pengadilan. Sejumlah mantan direktur Bank Indonesia seperti Hendro Budiyanto, Paul Soetopo Tjokronegoro, dan Heru Supratomo telah divonis dalam kasus korupsi tersebut.
Sejumlah obligor juga tercatat kabur saat menjalani hukuman seperti Direktur Bank Pelita Agus Anwar dan Alexander. Ada pula Direktur Bank Indonesia Raya atau Bank Bira, Atang Latif.
Selain itu, ada juga hukuman seumur hidup untuk kasus penggelapan dana BLBI. Hukuman itu dijatuhkan kepada Hendra Rahardja, yang kemudian meninggal dunia saat melarikan diri ke Australia. Ia dinyatakan bersalah dan kedapatan menggelapkan uang Rp 2,65 triliun.
Beberapa nama penerima dana juga diduga bersalah atas dugaan penipuan BLBI, namun banyak kasus yang akhirnya terhenti karena diterbitkannya SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) oleh pihak berwajib.
Tersangka baru kasus BLBI (ANTARA PHOTO/RENO ESNIR)
Pada September 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan siap membantu penyidikan kembali skandal korupsi tersebut. Hingga tahun 2013, KPK mulai mendalami proses pemberian SKL kepada penerima.
Pada tahun 2004 pemilik Bank Perdagangan Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim berhasil mendapatkan SKL dari BPPN. Namun setelah ditelusuri KPK, ada dugaan adanya kerjasama antara Sjamsul dengan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.
Berdasarkan temuan itu, Syafruddin kemudian divonis 13 tahun penjara di pengadilan, karena dianggap merugikan negara dalam usahanya membantu Sjamsul menggelapkan uang Rp 4,5 triliun.
Syafrudin dan pengacaranya mengajukan banding pada 2018, tetapi pengadilan malah menerima tambahan hukuman penjara dua tahun. Hingga 2019, Syafruddin dibebaskan melalui putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan kasasinya.
Sementara Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim, ditetapkan sebagai tersangka pada 2019. Mereka kabur ke Singapura dan masuk daftar buronan karena tidak mau bekerja sama dengan aparat. Namun, pada 2021, KPK akan menghentikan penyidikan kasus Sjamsul dan Itjih dengan menerbitkan SP3. Hal itu mengundang kecaman KPK karena menghentikan penyidikan kasus korupsi Rp 4,58 triliun.
Mantan Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, keputusan penghentian penyidikan sebenarnya membatalkan janji pimpinan KPK sebelumnya untuk memberantas sepenuhnya kerugian keuangan negara dalam kasus penggelapan dana BLBI.
KPK dikabarkan menutup penyidikan terhadap Sjamsul dan Itjih dengan alasan kepastian hukum karena Syafruddin sebelumnya telah divonis bebas oleh Mahkamah Agung dengan mengajukan kasasi.
Kontributor materi: Nada Naurah (Magang)