Kunjungan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) ke Australia pada Selasa (4/7) menghasilkan penandatanganan kesepakatan terkait mineral kritis dan transisi energi. Kedua negara telah menjalin kerja sama sejak menjalin hubungan diplomatik pada tahun 1949.
Pada kesempatan yang sama, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan pemerintah negara bagian Western Australia juga menandatangani “action plan” terkait supply chain dan keterampilan tenaga kerja mineral kritis.
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengumumkan inisiatif hingga AU$50 juta atau sekitar Rp502,07 miliar. Dana ini untuk menarik pembiayaan iklim swasta ke Indonesia.
Lembaga pembiayaan ekspor Export Finance Australia juga akan memberikan pendanaan sebesar US$ 200 juta atau sekitar Rp 3,01 triliun kepada Syarikat Elektrik Negara alias PLN untuk mendukung transisi energi Indonesia.
“Indonesia dan Australia harus membangun kerja sama ekonomi yang lebih besar dan strategis melalui produksi bersama baterai kendaraan listrik,” kata Presiden Jokowi di Sydney, Australia.
Presiden Joko Widodo tiba di Bandara Kingsford Smith Sydney, Australia, Senin (3/7). Foto: Antara. (Di antara)
Dari Musuh menjadi Sahabat
Sebelum kedua negara menjalin hubungan diplomatik, hubungan Indonesia dan Australia sempat diwarnai ketegangan. Setelah Jepang menyerah dalam Perang Dunia II pada tahun 1945, Australia ikut serta dalam pendudukan Belanda di sebagian wilayah Indonesia.
Sebagai bagian dari Blok Sekutu, Australia dan Inggris memiliki kewajiban untuk membantu Belanda mendapatkan kembali wilayah pendudukannya.
Australia mengakui kemerdekaan Indonesia pada bulan Desember 1949, ketika Belanda secara resmi melepaskan klaimnya atas Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB). Sebelum pengakuan tersebut, Australia juga berperan mengangkat isu dekolonisasi Indonesia ke Dewan Keamanan PBB (DK PBB) pada 1947.
Setelah Australia mengangkat duta besar di Indonesia, hubungan kedua negara semakin dekat dari segi ekonomi. Pada tahun 1959, misalnya, keduanya menandatangani perjanjian perdagangan yang saling memberi status “negara yang paling disukai”.
Pada tahun 2020, hubungan perdagangan dan investasi antara Indonesia dan Australia akan memasuki babak baru. Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) mulai berlaku. Perjanjian ini, antara lain, menghapuskan bea masuk untuk hampir semua produk yang diperdagangkan antara kedua negara.
IA-CEPA mulai berlaku saat Indonesia dan Australia merayakan 70 tahun hubungan diplomatik kedua negara. Untuk memperingati persahabatan kedua negara, Presiden Jokowi mengunjungi Australia termasuk parlemennya di Canberra.
“Melalui persahabatan yang tulus, hubungan Indonesia dan Australia tidak hanya bermanfaat bagi kesejahteraan kedua negara, tetapi juga bagi kawasan di sekitar kita dan bagi dunia secara keseluruhan,” kata Presiden Jokowi saat berpidato di parlemen Australia pada 10 Februari 2022.
Ketegangan Antara Kedekatan
Meskipun Indonesia dan Australia memiliki hubungan yang erat, ketegangan telah muncul di antara kedua negara. Pada konfrontasi Indonesia-Malaysia antara 1964 dan 1966, misalnya, Australia terlibat untuk mendukung Malaysia. Pasukan Australia di Sarawak, Malaysia, menjaga perbatasan dengan Indonesia.
Hubungan kedua negara juga mencapai titik terendah pada tahun 1999 setelah referendum yang berujung pada kemerdekaan Timor Timur. Australia membentuk dan memimpin International Team for East Timor (Interfet) yang terjun ke negara baru tersebut meski ditentang oleh Indonesia.
Pada 2013, ketegangan kembali terjadi setelah mantan mata-mata Amerika Serikat (AS) Edward Snowden membocorkan informasi tentang penyadapan telepon Australia di Indonesia. Australia mengetuk beberapa pejabat Indonesia pada tahun 2009, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Wakil Presiden Boediono, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.