Remaja berusia dua puluhan belakangan ini terlihat meramaikan kawasan Stasiun MRT Terpadu (MRT) Dukuh Atas. Berbekal sense of fashion yang unik dengan make-up yang mencolok, mereka berhasil menyulap kawasan yang dikenal elit karena dikelilingi gedung pencakar langit, menjadi panggung catwalk.
Seiring perkembangan zaman, netizen kemudian menjuluki tren fashion ini sebagai “Citayam Fashion Week”. Padahal, jika menilik sejarah Dukuh Atas enam dekade silam, kawasan ini memang identik dengan “kehidupan malam”.
Selain tren fashion, singkatan SCBD yang sebelumnya dikenal sebagai Sudirman Central Business District berubah menjadi Sudirman Citayam Bojonggede Depok. Bukan tanpa alasan, para remaja yang meramaikan kawasan Dukuh Atas Atas rata-rata berasal dari tiga kawasan pinggiran Jakarta.
Pemanfaatan Dukuh Atas sebagai fashion showroom juga didukung dengan kemudahan akses transportasi ke lokasi. Pasalnya, untuk menuju Dukuh Atas, remaja di Bojonggede, Depok, dan Citayam hanya perlu mengandalkan kereta listrik atau KRL. Apalagi, tarif angkutan yang ditawarkan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), sebagai perusahaan penyedia jasa angkutan kereta api Jabodetabek, cukup masuk akal.
Selain itu, Stasiun Bojong Gede dan Stasiun Citayam merupakan dua dari lima stasiun tersibuk di tahun 2019. Selama periode tersebut, terdapat 12,47 juta pengguna KRL yang dilayani oleh Stasiun Bojong Gede dan 12,42 juta pengguna dari Stasiun Citayam.
Kehidupan malam Hamlet yang gemerlap di masa lalu
PEMBATASAN GERAKAN MASYARAKAT DI IBUKOTA (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/wsj.)
Jika dilihat dulu, kawasan Dukuh Atas memang tidak diperuntukkan untuk perkantoran seperti sekarang. Mengutip situs Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, sejak tahun 1960 kawasan ini dikenal dengan gemerlapnya kehidupan malam.
Saat itu Gubernur DKI Jakarta pertama, Ali Sadikin berkuasa, berbagai bar dan klub malam bertebaran di kawasan Dukuh Atas Atas. Peminat di daerah tersebut umumnya berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Tidak jarang ditemukan panti pijat di sekitar Jalan Blora.
Sebagai informasi, Dukuh Atas dulunya adalah sebuah desa yang terletak di sebelah barat daya Kabupaten Menteng. Dari berbagai sumber diketahui kampung ini sudah berusia ratusan tahun, dan memiliki nama awal Kampung Dukuh.
Seiring berjalannya waktu, Kampung Dukuh terbagi menjadi dua, yang pertama Kampung Dukuh Atas yang berada di sisi timur SMP Setiabudi 3 dan Kampung Dukuh Bawah yang berbatasan dengan Jalan Halimun dan Jalan Kawi, Kampung Guntur.
Jalan Halimun dan Jalan Guntur juga tak lepas dari martabat kehidupan malam yang tersemat di Dukuh Atas. Selama tahun 1950-an hingga 1960-an, kedua jalan ini dikenal sebagai kawasan prostitusi kelas bawah di Jakarta. Dalam penuturan budayawan Irwan Syafe’i kepada Republika, menyebutkan hingga tahun 2019 masih ada PSK yang bertahan hingga subuh di sekitar Jalan Sultan Agung dan rel kereta api di Jalan Latuharhari.
Tak hanya terkenal dengan hiburan malamnya, banyak warga di sekitar Dukuh Atas yang juga berwirausaha. Misalnya warga daerah tetangga seperti Kuningan, Sudirman, dan Gatot Subroto yang merupakan pengrajin batik, sepatu, dan tahu. Namun kebanyakan dari mereka adalah peternak sapi sehingga pada pagi hari banyak warga Karet yang mengayuh sepeda untuk menjual susu segar dalam kemasan botol kepada pelanggannya di sekitar Jakarta.
Nama Dukuh berasal dari nama buah duku yang dulunya dibudidayakan di ladang-ladang di daerah tersebut. Stasiun Sudirman yang berdiri di kawasan ini dulu bernama stasiun Dukuh Atas.
Kini, kawasan Dukuh Atas masuk dalam kawasan Segitiga Emas Jakarta, yaitu tiga titik imajiner yang diambil dari Patung Pembinaan Pemuda di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Patung Kuda Arjuna Wijaya di Medan Merdeka, Jakarta Pusat, dan Patung Dirgantara. di Pancoran, Jakarta Selatan.
Ide ini dicetuskan oleh Presiden Soekarno, dengan tujuan untuk mengembangkan kawasan pusat bisnis alias district business center (CBD) yang terdiri dari perkantoran di kawasan tersebut. Proyek ini dimulai pada tahun 1960, dengan membangun jalan raya yang lebar yaitu Jalan MH Thamrin, Jalan Gatot Subroto dan Jembatan Semanggi. Formasi tersebut kemudian ditambahkan ke Jalan HR. Rasuna Said yang dibangun pada tahun 1970-an. Akhirnya istilah Segitiga Emas mulai populer di kalangan masyarakat pada tahun 1990-an.
Hampir tiga dekade kemudian, Pemprov DKI Jakarta kemudian mengembangkan TOD Dukuh Atas untuk memudahkan pergerakan warga, khususnya pekerja di Segitiga Emas. Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 107 Tahun 2020, TOD Dukuh Atas memiliki luas 146 hektar, berdiri di atas Kabupaten Tanah Abang dan Kabupaten Menteng, Kota Administrasi Jakarta Pusat, dan Kabupaten Setiabudi.
TOD Dukuh Atas resmi berdiri pada 30 April 2019, sebagai kawasan TOD pertama di Indonesia. Seperti namanya, kawasan ini menghubungkan tujuh jenis angkutan umum, mulai dari bus Transjakarta, Greater Integrated Mode (MRT), KRL commuter line, kereta bandara, bus kota, hingga masa depan Jakarta Light Rail Transit (LRT) dan LRT Jabodebek. .