Pajak Pertambahan Nilai atau PPN kembali menjadi perbincangan. Pasalnya, pemerintah dikabarkan sedang mempertimbangkan kembali rencana menaikkan pajak atas pembelian barang dan jasa tersebut.
Sebelumnya, pemerintah mengusulkan untuk menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% per 1 April. Namun, pemerintah dikabarkan sedang mempertimbangkan kembali rencana tersebut, mengingat situasi ekonomi saat ini masih belum menentu. Apalagi situasi harga pangan saat ini masih tinggi.
Seperti yang Anda ketahui, PPN merupakan pungutan yang dipungut atas setiap pembelian dan penjualan barang dan jasa di Indonesia. Pungutan berlaku untuk wajib pajak orang pribadi, badan usaha dan pemerintah. Jenis pajak ini bersifat tidak langsung, objektif, dan tidak kumulatif.
Artinya, pajak tidak dibayar oleh pelaku usaha yang menghasilkan barang/jasa tersebut, tetapi oleh konsumen yang menggunakan atau menggunakan barang/jasa tersebut. Dasar hukum yang digunakan untuk memungut pajak ini adalah UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Namun, sistem PPN dalam perpajakan Indonesia tidak muncul begitu saja. Pelaksanaan pungutan atas penggunaan barang/jasa di Indonesia sebelumnya telah mengalami beberapa perubahan, agar sesuai dengan sistem yang ada. Berikut uraian singkat tentang jenis-jenis pajak yang dikenakan atas konsumsi barang/jasa di Indonesia:
1. Pajak Pembangunan I
Jauh sebelum pemberlakuan PPN, Indonesia telah menerapkan Pajak Pembangunan I atau PPb I yang ditetapkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pemungutan Pajak Pembangunan atas Restoran dan Penginapan. Pajak ini resmi berlaku mulai 1 Juni 1947. Tarif pajak yang dikenakan adalah 10% dari total pembayaran.
Mirip dengan PPN, PPb I menggunakan self assessment system, dimana wajib pajak memungut, menyetor, dan melaporkan pajak. Pada saat itu, aplikasi tersebut menggunakan prinsip contante storting system atau sistem setor tunai. Seiring berjalannya waktu, PPb I juga mengalami serangkaian perubahan, melalui terbitnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1948 (UU PPb I Tahun 1948), dengan penambahan pasal-pasal yang berkaitan dengan pemungutan pajak.
Belakangan, PPb I juga mengalami perubahan bentuk dari yang sebelumnya pajak pusat menjadi pajak daerah. Hal itu ditandai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956. Melalui Undang-Undang ini PPb I dapat dipungut oleh daerah apabila daerah sudah siap untuk mengumpulkannya. Dalam prakteknya, tarif PPb I untuk setiap daerah bisa berbeda-beda, demikian juga objeknya. Misalnya, di Jakarta tarif yang dikenakan sebesar 5%, yang penggunaannya diperluas tidak hanya ke restoran, tetapi juga ke layanan katering.
Walaupun sifatnya terbatas, PPb I dapat dikatakan sebagai pilar pertama PPN, yaitu pungutan atas konsumsi barang dan jasa yang dilakukan di wilayah Indonesia.
2. Pajak Distribusi 1950
Selain PPb I, Indonesia juga menerapkan Pajak Distribusi atau PPe yang telah ditetapkan melalui UU Darurat No. 12 Tahun 1950 tentang Pajak Distribusi yang diumumkan pada tanggal 18 Maret 1950. Oleh karena itu pajak ini sering disebut dengan PPe 1950.
Sifat PPe 1950 kurang lebih sama dengan PPb I. Bedanya, PPe 1950 merupakan pungutan pajak atas penggunaan barang umum, dan dikenakan atas penyerahan barang yang beredar bebas. Saat itu, pemerintah memberlakukan tarif pajak 2% untuk setiap pengiriman barang. Pajak ini juga dikenakan pada pelayanan, dengan sistem penggantian, yaitu nilai yang harus dibayarkan kepada orang yang memberikan pelayanan.
Pengumpulan PPe 1950 dilakukan dengan dua cara. Pertama, lump sum collection, dimana hanya diterapkan satu kali untuk hasil akhir. Pengumpulan dapat dilakukan di awal lini produksi, atau di mata rantai berikutnya. Kedua, menggunakan sistem pengumpulan berjenjang. Artinya, pajak dipungut setiap ada perpindahan barang ke tingkat berikutnya. Pada setiap pengiriman barang, tidak ada penyesuaian atau pengurangan.
Pelaksanaan PPe 1950 berlangsung singkat, hanya sembilan bulan. Pasalnya, jenis pajak ini dianggap menimbulkan distorsi dan ketidakadilan, terutama dalam sistem pemungutan bertahap. Pasalnya, pungutan dilakukan berkali-kali tanpa pengurangan di setiap jalur sehingga menyebabkan perhitungan harga barang meningkat. Hal ini membuat beban pajak berlipat ganda, melebihi tarif sebenarnya yang dikenakan. Nah, beban ini pada akhirnya ditanggung oleh pengguna.
3. Pajak Penjualan
Setelah pemberlakuan PPb I dan PPe 1950, Indonesia tidak langsung menggunakan sistem PPN tetapi menetapkan Pajak Penjualan (PPN). Jenis pajak ini dapat dikatakan pendahulu dari PPN, karena bentuk pungutan sebelumnya masih menggunakan sistem kolonial Belanda. Dasar hukum pengenaan PPN adalah UU Darurat No. 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan (UU PPn) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1951.
Dalam PPN, pungutan dikenakan atas harga barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Selain itu, PPN juga dikenakan atas penyerahan jasa. Namun, ada beberapa jasa seperti notaris, akuntan atau advokat, PPN tidak dipungut.
Mengutip buku Konsep Pajak Pertambahan Nilai dan Studi Perbandingan, PPN digunakan dengan sistem pungutan satu kali di tingkat produsen. Namun, dalam UU PPN terdapat ketentuan yang mengatur bahwa apabila barang tersebut diolah kembali oleh produsen berikutnya, maka PPN atas penyerahan barang yang diolah kembali tersebut dapat dipotong pajak yang dibayarkan.
Dalam perjalanannya, PPN mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari Wajib Pajak yang semula sebagai penghasil barang menjadi sebagai penyedia jasa. Tarif PPN juga mengalami beberapa kali perubahan, dari semula menggunakan tarif umum 10% menjadi 20%. Kemudian pada tahun 1974 tarif PPN diubah menjadi tiga golongan yaitu 0% untuk jenis barang yang dibebaskan dari PPN. Kemudian, 5% untuk barang berupa karton, kertas kado, kertas tulis, kertas printing, karbon, dll. Terakhir, tarif 10% dikenakan pada barang yang tidak termasuk dalam dua kategori pertama dan kedua.
Pemberlakuan PPN kemudian diganti dengan PPN pada tahun 1983, karena dinilai sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan atau menampung kegiatan ekonomi masyarakat yang semakin berkembang. Selain itu, sistem PPN sendiri telah diterapkan oleh negara-negara industri dan berkembang selama dekade sebelumnya, sehingga memicu perlunya perubahan sistem perpajakan untuk penggunaan tersebut.
4. PPN
Indonesia akhirnya memutuskan untuk keluar dari sistem PPN dan menerapkan PPN pada tahun 1983. Hal ini ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau lebih dikenal dengan UU PPN. Namun melalui Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1984 (Perppu), pemerintah memutuskan untuk menunda pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 paling lambat sampai dengan tanggal 1 Januari 1986.
Penundaan itu dilakukan karena pemerintah melihat berbagai pihak belum siap untuk segera menerapkan UU PPN. Ketidaktersediaan ini dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan yang berpotensi merugikan masyarakat dan negara.
Dalam perjalanannya, UU PPN telah mengalami empat kali perubahan. Pertama, melalui UU Nomor 11 Tahun 1994 yang mulai berlaku 1 Januari 1995. Perubahan kedua dilakukan melalui pengesahan UU Nomor 18 Tahun 2000 yang mulai berlaku 1 Januari 2001. Kemudian, perubahan ketiga UU PPN Hukum. dilaksanakan melalui UU No. 42 Tahun 2009 yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Perubahan terakhir UU PPN dimasukkan dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, khususnya mengenai kenaikan tarif. Dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN stdtd UU HPP, tarif PPN ditetapkan sebesar 11%, dan mulai berlaku pada 1 April 2022. Tarif tersebut kemudian dinaikkan menjadi 12%, yang mulai berlaku pada terbaru. mulai 1 Januari 2025.
Sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) UU PPN dan UU HPP, tarif PPN dapat diubah menjadi minimal 5% dan maksimal 15%. Perubahan tarif PPN harus diatur dalam PP setelah disampaikan pemerintah kepada DPR. Dengan masih dibahasnya perubahan ini, sejauh ini penerapan tarif PPN 11% sebenarnya belum diterapkan.
Namun, perubahan terakhir ini belum dilaksanakan mengingat rencana pelaksanaannya sendiri pada 1 April dan sedang dipertimbangkan untuk ditunda.