Selama hampir tujuh dasawarsa, Bank Indonesia hadir sebagai Bank Sentral negara, sekaligus mengawal keadaan perekonomian negara. Berbagai kebijakan telah berhasil dihasilkan dalam 69 tahun terakhir, sejak diresmikan sebagai Bank Negara pada 1 Juli 1953.
Baru-baru ini, Bank Indonesia menyatakan akan melaksanakan kerja sama pembayaran lintas batas tahun ini. Dimana, terdapat empat bank sentral negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) yang telah bergabung dalam kerjasama tersebut.
Langkah ini mendapat respon positif dari masyarakat Indonesia, karena akan memudahkan masyarakat Indonesia bertransaksi di negara tetangga. Kemudian, masyarakat Indonesia dapat bertransaksi menggunakan QR Standard Indonesia atau QRIS saat mengunjungi empat negara di ASEAN.
Langkah Bank Indonesia tersebut merupakan bentuk kerjasama dengan kawasan ASEAN-5 dalam hal pembayaran QR, pembayaran cepat menggunakan mata uang lokal, menurut catatan Katadata.co.id.
“Kami targetkan penandatanganan MoU oleh kelima pemimpin dapat dilaksanakan pada November tahun ini,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam seminar Advancing Digital Economy and Finance: Cross-Border Payments di Bali, Kamis (14). /7).
Tugas Bank Indonesia tidak terbatas pada inovasi dalam sistem pembayaran negara. Kehadiran Bank Sentral sendiri bertujuan untuk mencapai dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, ada dua dimensi yang dipertahankan BI, yaitu menjaga stabilitas mata uang dibandingkan dengan barang dan jasa dalam negeri, atau inflasi. Selain itu, BI juga bertugas menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang atau nilai tukar negara lain.
Ada tiga pilar yang menjadi tugas Bank Indonesia dalam mencapai tujuan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Kedua, mengelola dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Terakhir, atau tugas ketiga Bank Indonesia adalah mengatur dan mengawasi perbankan. Meski begitu, seiring dengan kehadiran Otoritas Jasa Keuangan atau OJK, tugas BI lebih difokuskan pada aspek makroprudensi guna menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011.
Transformasi Kebijakan Moneter Bank Indonesia (Bank Indonesia)
Perusahaan Bank Menjadi Bank Indonesia
Sejak tahun 1828 pemerintah Pemerintah Belanda memberikan octrooi atau hak khusus kepada De Javasche Bank atau DJB untuk menjadi bank sirkulasi. Artinya DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mendistribusikan uang Gulden di Hindia Belanda.
Berdirinya DJB menjadi cikal bakal Bank Indonesia yang dikenal masyarakat Indonesia saat ini. De Javasche Bank adalah bank sirkulasi pertama di Asia.
Kehadiran DJB dimanfaatkan pemerintah kolonial Belanda untuk mendukung kebijakan keuangan Sistem Perkebunan. Selama kurun waktu 1829-1870 bank yang dikelola oleh perusahaan Belanda itu mengembangkan usahanya dengan membuka kantor cabang di beberapa kota di Hindia Belanda.
Mengutip situs resmi Bank Indonesia, beberapa kantor tersebut dibangun di Semarang dan Surabaya pada tahun yang sama, yakni 1829. Selanjutnya perluasan kantor Padang dan Makassar pada 1864, diikuti Cirebon pada 1866, serta Solo dan Pasuruan pada 1867.
Pada tahun 1870, pemerintah Belanda melakukan eksploitasi ekonomi besar-besaran melalui Sistem Tanam Paksa. Kehadiran Undang-Undang Agraria atau Agrarische Wet turut mendorong meluasnya liberalisasi ekonomi, dimana pihak swasta diperbolehkan berinvestasi di sektor bisnis Hindia Belanda.
Bahkan, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Belanda terus berupaya menguasai perekonomian negara melalui Dutch East Indies Public Administration atau NICA. Sebagai tandingan, Pemerintah Republik Indonesia mendirikan bank sirkulasi yaitu Bank Negara Indonesia atau BNI.
Selain itu, berdasarkan publikasi Kementerian Keuangan, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 2 Oktober 1945 yang menetapkan bahwa uang NICA tidak berlaku di wilayah negara Republik Indonesia.
Deklarasi Presiden Republik Indonesia tanggal 3 Oktober 1945 juga menetapkan jenis uang yang sah sementara sebagai alat pembayaran yang sah. Saat itu, Indonesia memiliki empat mata uang resmi.
Selanjutnya wilayah-wilayah yang berada dalam wilayah hukum Pemerintah Republik Indonesia membentuk Jajajan Poesat Bank Indonesia yang kemudian melebur menjadi Bank Negara Indonesia atau BNI, sebagai bank sirkulasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 1946.
BNI merupakan bank milik negara pertama yang lahir kurang dari setahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1946. Pada awalnya bank ini berfungsi sebagai bank sentral dengan nama Bank Negara Indonesia. Tugasnya tentu saja mendistribusikan dan mengelola metode pembayaran pertama saat itu yaitu Oeang Republik Indonesia atau ORI.
Raden Mas Margono Djojohadikusumo adalah orang pertama yang mengusulkan pendirian bank sentral atau bank sirkulasi. Usulan ini pula yang mengantarkannya menjadi Direktur Utama dan pendiri BNI. Sebagai pionir, ia berhasil menanamkan nilai dan cara pandang ke dalam bisnis perbankan Indonesia, menggantikan peran De Javasche Bank di era kolonial.
De Javasche Bank (Bank Indonesia)
Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa BI tidak hanya berperan sebagai bank penyalur, tetapi juga sebagai bank umum melalui pemberian kredit. Saat itu, ada Dewan Moneter (DM) yang bertugas menetapkan kebijakan moneter, dipimpin oleh Menteri Keuangan dengan anggota dari Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Perdagangan.
Singkat cerita, pada tahun 1951 pemerintah diminta untuk mendirikan bank sentral untuk menjaga kedaulatan ekonomi Republik Indonesia. Akibatnya, pemerintah membeli 97% saham DJB, dan pada tanggal 1 Juli 1953, UU No. 11/1953 tentang Bank Indonesia diterbitkan menggantikan DJB Basah pada tahun 1922.