Hari ini tepat 57 tahun yang lalu, mahasiswa ramai-ramai berdemonstrasi di jalanan. Selama empat hari, 10-13 Januari 1996, mahasiswa berdemonstrasi terkait tragedi berdarah Gerakan 30 September (G30S) 1965. Mereka menganggap pemerintahan Orde Lama yang dipimpin Soekarno gagal setelah peristiwa itu.
Dalam demonstrasi tersebut, mahasiswa mengajukan tiga tuntutan yang dikenal dengan Tritura (tiga tuntutan rakyat).
Situasi di Indonesia pada awal tahun 1966 sangat kritis. Menurut buku Aneka Versi Supersemar yang ditulis Pusat Data dan Analisis Tempo, Soekarno tetap menolak membubarkan PKI, tiga bulan setelah pemberontakan G30S terjadi. Sementara itu, Tim 66 yang menjadi motor penggerak demonstrasi ini meyakini bahwa PKI adalah dalang penculikan tujuh jenderal pada 30 September.
Tidak hanya dari sisi politik, sisi ekonomi Indonesia juga sedang tegang. Hiperinflasi meningkat 500%. Ibnu Sutowo dalam otobiografinya ‘Saatnya Saya Bercerita’ mengatakan saat itu dirinya menjabat sebagai Direktur Pertamina terkait kenaikan harga BBM. Saat itu, dia diperintahkan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh untuk menaikkan harga bensin dari Rp4 menjadi Rp250.
Belum lagi kebijakan sanering yang dikenal dengan nama Gunting Syafrudin yang resmi diberlakukan pada tahun 1950. Dengan kebijakan tersebut, nilai uang naik dari Rp 1.000 menjadi hanya Rp 1. Sanering memangkas daya beli masyarakat melalui penurunan nilai mata uang. Biasanya hal ini dilakukan ketika negara sedang mengalami krisis dan ingin mengurangi peredaran uang di masyarakat.
Tritura di bulan Ramadhan 1966
Menurut situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, aksi unjuk rasa itu dihadiri oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAPI), dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).
Tak hanya pelajar dan mahasiswa, Serikat Aksi Pekerja Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI) dan lain-lain juga ikut berpartisipasi.
Maka pagi itu, Senin 10 Januari 1966, Universitas Indonesia AS mulai bergerak menuju gedung Sekretariat Nasional yang terletak di Jalan Veteran. “Sepanjang jalan, teriakan mereka memicu semangat: ‘Turunkan harga beras’, ‘Singkirkan menteri yang tidak kompeten’, ‘Turunkan menteri yang bodoh’, ‘Turunkan Subandrio’,” kata buku terbitan Tempo itu.
Orang pertama yang ingin dicari mahasiswa adalah Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh, namun pagi itu orang yang dicari tidak ada di lokasi. Para siswa menunggu di jalan sampai Chaerul muncul.
Salah satu presidium kami, Cosmas Batubara yang juga memimpin demonstrasi mengatakan bahwa sebagian besar pengunjuk rasa saat itu sedang berpuasa. Padahal, Januari 1966 bertepatan dengan bulan Ramadan. Dalam otobiografinya, Cosmas Batubara, A Political Autobiography, disebutkan bahwa semua mahasiswa menunggu hingga petang, kehausan dan kelaparan. Bahkan salat juga dilakukan di jalan-jalan.
Hingga malam hari, Chaerul Saleh yang ditunggu akhirnya tiba. Di hadapan Chaerul, Cosmas membacakan Tiga Tuntutan Rakyat alias Tritura, sebelum menyampaikannya secara tertulis. Namun sumber lain menyebutkan bahwa pembacaan Tritura terjadi pada puncak demonstrasi, yaitu 12 Januari 1966. Tiga tuntutan tersebut antara lain:
Bubarkan PKI dan organisasi besarnya Ritul (perombakan) Kabinet Dwikora Turunkan harga
Demonstrasi semakin liar untuk para Martir Revolusi
Usai membacakan Tritura, Chaerul Saleh berjanji akan menyampaikan tuntutan itu kepada Bung Karno. Bahkan, para mahasiswa mendesak agar Sukarno melaksanakan tuntutan itu pada hari yang sama, tetapi Presiden tidak mampu melakukannya. Meski mahasiswa kemudian bubar, kobaran api demonstrasi ini terus menjalar ke berbagai daerah menuntut pelaksanaan Tritura secara penuh.
Menurut postingan Tempo pada 1984, aksi selanjutnya tak terbatas pada demonstrasi jalanan. Banyak juga mahasiswa yang mogok kerja. Disinilah posisi pemerintah semakin terpojok dan Soekarno membentuk Front Soekarno untuk melawan AS.
Selain itu, Soekarno mengkhawatirkan potensi pemakzulan yang dilakukan para demonstran. Soekarno juga mengundang delegasi mahasiswa untuk datang ke Sidang Kabinet Dwikora pada 15 Januari 1966 di Istana Bogor.
Sayangnya, bukan hanya KAMI yang diundang ke persidangan. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) versi Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Ali Sastroamidjojo dan Surachman juga ikut berpartisipasi. Dalam buku Soe Hok Gie berjudul Masa Peralihan, partai yang dikenal dengan sebutan “PNI-Asu”–singkatan pemimpinnya–cenderung sayap kiri dan dekat dengan Soekarno.
Dalam pertemuan itu, Soekarno tidak mau disalahkan atas melonjaknya harga-harga itu, karena menurutnya itu akibat kesalahan kebijakan ekonomi pemerintah. Selain itu, Presiden mengkritik cara KAMI dan pengunjuk rasa lainnya melakukan demonstrasi. Hasil pertemuan ini akhirnya tidak memuaskan para siswa.
Kemudian pada tanggal 21 Februari 1966, Soekarno mengumumkan perombakan Kabinet Dwikora. Terlepas dari tuntutan Tritura, tindakan ini hanya menambah kegelisahan para pengunjuk rasa. Pasalnya, masih ada sejumlah tokoh kiri yang masuk kabinet. Kemudian presiden tetap membela PKI dengan mengatakan,
“Bahkan PKI yang pertama kali menuntut perombakan Kabinet Dwikora, sebelum AS,” kata Budi Setiyono dan Bonnie Triyana dalam Revolusi Belum Selesai.
Api demonstrasi ini semakin membesar pada tanggal 24 Februari 1966 ketika seorang mahasiswa ditembak mati saat demonstrasi di Istana. Nama syahid ini adalah Arief Rahman Hakim, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang meninggal di usia 23 tahun.
Dalam berbagai catatan diketahui jaket almamater Arief yang hampir setiap hari berlumuran darah diarak di setiap demonstrasi. Simbol ini memanaskan suasana dan meningkatkan kebencian pengunjuk rasa terhadap pemerintah.
Keputusan Tritura Orde Baru
Soekarno semakin terdesak oleh tuntutan dan aksi yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Akhirnya ia mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dikenal dengan nama Supersemar.
Surat ini menunjuk Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) saat itu untuk mengontrol keamanan dan ketertiban negara. Nama komandannya adalah Soeharto. Dengan surat ini lahirlah Orde Baru. Meski pada akhirnya Orde Baru juga tumbang dengan cara yang sama yaitu aksi mahasiswa.