Pelecehan seksual yang dapat dihukum tidak hanya berupa pelanggaran kontak fisik, tetapi juga pelecehan dunia maya atau online. Bahkan, pelaku pelecehan seksual online bisa didenda hingga Rp 200 juta.
Hal itu disampaikan Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Eni Widiyanti.
Eni menjelaskan, pelecehan seksual diatur dalam Undang-Undang (UU) Tentang Kekerasan Seksual (TPKS) yang sedang menunggu terbitnya.
“Jadi ancaman hukuman maksimal empat tahun penjara atau denda maksimal Rp200 juta,” ujarnya dalam webinar Katadata.co.id bertajuk “Bersatu Lawan Pelecehan Seksual Online”, Jumat (16/6).
Ia mengatakan, UU TPKS akan memiliki aturan yang akan diterbitkan dalam bentuk lima Perpres yang akan mengatur lebih detail mengenai hal-hal tertentu, seperti pelecehan seksual online.
Sementara itu, tindakan atau aktivitas online yang termasuk pelecehan online seperti:
– Mengirim gambar atau konten ke teks yang eksplisit secara seksual
– Merekam tanpa persetujuan
– Produksi konten seksual
– Sistem pengawasan dan pelacakan elektronik
Eni mengungkapkan, perempuan dewasa lebih banyak dilecehkan secara online dibandingkan laki-laki dewasa. “Ada (kasus) laki-laki dewasa, tapi sangat kecil,” katanya.
Sedangkan kasus yang terjadi pada anak usia 13-17 tahun, anak perempuan juga lebih banyak dibandingkan anak laki-laki.
Tantangan dalam melindungi anak di ruang digital
Manajer Program ECPAT Indonesia Andy Ardian mengatakan bahwa ruang digital adalah dunia yang bebas. Ini adalah dunia yang benar-benar baru bagi orang-orang yang mungkin sedikit terhalang oleh teknologi digital dan internet, sehingga mereka tidak memahami cara kerja dunia internet.
Menurutnya, ini merupakan gap yang besar terkait dengan aktivitas anak-anak saat ini, karena hampir 100% aktivitasnya berkaitan atau terhubung dengan dunia online. Oleh karena itu, orang tua perlu memahami risiko yang terjadi dan mengarahkan serta mendidik anak terkait perilakunya di dunia digital.
“Tantangannya adalah ketika dunia menjadi bebas, anak-anak memiliki akses tanpa batas di mana semuanya tersedia di internet, dan ketika aturan kita di dunia online ini tidak dapat memberikan perlindungan bagi anak-anak, pada akhirnya perlindungan yang harus dilakukan adalah perlindungan daripada diri saya sendiri, ” dia berkata. Karena, “kita tidak bisa memaksa.”
Walaupun pemerintah memiliki mekanisme pembatasan, ada undang-undang seperti pornografi, ITE, TPKS, Perlindungan Anak. Menurut Andy, hal itu tidak bisa sepenuhnya melindungi anak-anak selama mereka berinteraksi di dunia online.
Maka, sebaiknya orang tua mengajarkan etika dan keterampilan kepada anak terkait berinteraksi dan berkomunikasi di dunia online.
Ia menegaskan, pendekatan dan komunikasi keluarga merupakan titik awal dan pintu paling ampuh untuk menyampaikan hal tersebut kepada anak-anak. “Karena kita tidak bisa memberikan ini kepada orang di luar orang tua,” katanya.
Tidak hanya anak muda, dalam hal ini orang tua juga harus melek digital agar mengetahui risiko yang bisa menimpa anaknya.
Andy menilai etika dunia digital bagi anak juga menjadi tantangan besar dalam dunia pendidikan. “Belum pernah ada pendidikan tentang bagaimana berperilaku etis di internet dalam konteks tata krama yang baik,” ujarnya.
“Internet memiliki batasan yang sangat tipis, ketika orang membully atau berkelahi di internet dianggap sebagai sesuatu yang bisa dilakukan, sehingga banyak orang yang mengikutinya,” ujarnya. Padahal, “Ini adalah tata krama yang harus diajarkan kepada anak-anak agar ketika mereka berinteraksi di internet, mereka bisa menjaga diri sendiri.”