Dana Moneter Internasional atau IMF meminta pemerintah Indonesia melonggarkan larangan ekspor bijih nikel dalam laporan berjudul, ‘Dewan Eksekutif IMF Menyelesaikan Konsultasi Pasal IV 2023 dengan Indonesia’.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai wajar jika IMF mengambil pandangan itu. Sebab, menurut dia, IMF tidak bisa mengendalikan kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia. “IMF mungkin memiliki pandangan yang dituangkan dalam pasal IV mereka, tetapi Indonesia memiliki kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat struktur industri kita,” ujarnya, Selasa (4/7).
Tanggapan serupa disampaikan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia. Dia menilai IMF memainkan standar ganda.
Menurut Bahlil, negara-negara Eropa sedang membangun konsensus pembangunan berkelanjutan melalui SDGs. Jika Indonesia tetap mengekspor mineral mentah seperti bijih nikel, kata dia, banyak bahan mentah yang akan ditambang tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan yang bertentangan dengan SDGs.
Ia kemudian mengungkit sejarah kedatangan IMF yang memperparah keadaan Indonesia dengan memberikan perumpamaan dokter yang salah diagnosa. “Haruskah kita mengikuti dokter yang sudah membawa kita ke ruang rawat inap, memasukkan kita ke ruang ICU, bukankah harus operasi total lalu operasi total dan gagal?”
Jejak Kelabu IMF di Indonesia
IMF menginjakkan kaki di Indonesia melalui paket kebijakannya untuk pertama kali pada Kamis, 15 Januari 1998. Saat itu, Presiden Soeharto terjebak dalam berbagai krisis di tanah air yang diawali dengan krisis keuangan.
Ekonom Revrisond Baswir, Deddy Heriyanto dan Rinto Andriyono, dalam buku Dijajah di Negara Sendiri, menyebutkan bahwa krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1988 dapat ditelusuri kembali ke krisis mata uang di Thailand pada tahun 1997.
Revrisond Baswir dalam buku tersebut menyebutkan sentralisasi kekuasaan, dominasi ekonomi oleh elit penguasa dan kroninya, industrialisasi pencari rente, KKN, menyebabkan perekonomian Indonesia rapuh. Akibatnya, tekanan eksternal dari krisis di Thailand menjalar ke Indonesia secara tidak terkendali dan menyebabkan Rupiah ikut terpuruk.
Di sisi lain, Indonesia menghadapi masalah darurat berupa defisit transaksi berjalan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan krisis politik di negara tersebut.
Untuk mengatasi situasi ini, ada tekanan kuat dari para pemimpin dunia seperti Presiden AS Bill Clinton dan Perdana Menteri Jepang Hasmimoto Ryutaro agar Indonesia meminta bantuan IMF.
Pada 15 Januari 1998, Direktur IMF Michel Camdessus membawa dokumen Letter of Intent (LoI) untuk ditandatangani Presiden Soeharto. Penandatanganan ini menandai intervensi IMF dalam situasi keuangan dan ekonomi Indonesia saat itu.
Menurut Revrisond, untuk mengatasi krisis Indonesia, IMF memiliki dua prinsip dasar yang menjadi prasyarat bantuan keuangan bagi Indonesia.
Paket kebijakan pertama bertujuan untuk mengatasi masalah neraca pembayaran. Paket kebijakan ini memuat empat komponen utama, yaitu liberalisasi impor, devaluasi, implementasi kebijakan fiskal dan moneter seperti pembatasan kredit dan pembebanan harga pada fasilitas publik, serta mendorong investasi asing.
Paket kebijakan kedua berupa restrukturisasi ekonomi dengan sayap neoliberal, yang berisi kebijakan deregulasi untuk memperkenalkan ekonomi pasar seluas-luasnya.
Ada empat komponen dalam paket kebijakan kedua, yaitu meminimalkan intervensi pemerintah karena dianggap mampu mendistorsi pasar, privatisasi yang meluas, liberalisasi semua kegiatan ekonomi dan penghapusan berbagai bentuk perlindungan, serta peningkatan jumlah orang asing. arus masuk investasi dengan menyediakan fasilitas yang lebih luas.
Pola dasar kebijakan ini dikemas oleh IMF dalam dokumen Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan atau Letter of Intent yang harus disetujui oleh pemerintah Indonesia. LoI diturunkan menjadi 50 basis poin ekonomi sebagai resep dari IMF untuk membuat Indonesia sehat.
Namun, paket kebijakan tersebut justru membuat perekonomian Indonesia semakin kacau. Pertumbuhan Indonesia tercatat -13,3%, kredit macet tercatat 48,6%, dan investasi yang disebut-sebut sebagai solusi justru turun -33%. Sedangkan utang Indonesia melonjak menjadi US$ 137,42 miliar.
Pola kebijakan IMF mengakibatkan tarif BBM dan TDL beberapa kali dinaikkan, subsidi pendidikan dan berbagai subsidi lainnya dicabut yang menimbulkan keresahan besar di masyarakat.
Namun, seluruh utang Indonesia kepada IMF telah dilunasi pada Oktober 2006 pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sejarah Berdirinya IMF
Menurut buku ‘Guidance on the IMF’, yang diterbitkan oleh IMF pada tahun 2003, dana keuangan Indonesia ini dibentuk berdasarkan perjanjian internasional pada tahun 1945 untuk membantu meningkatkan kesehatan ekonomi dunia.
Sementara itu, situs web IMF menyebutkan bahwa pendirian lembaga ini dimulai pada Juli 1944 pada Konferensi Bretton Woods di New Hampshire, Amerika Serikat. Saat itu, ada 44 negara yang hadir mencoba membangun kerjasama ekonomi internasional untuk menghindari devaluasi mata uang besar-besaran yang mengakibatkan Great Depression pada tahun 1930-an.
Setahun setelah konferensi, IMF didirikan, diikuti oleh 29 negara yang menyatakan kesediaannya untuk menjadi anggota dan meratifikasi Articles of Agreement on the International Monetary Fund.
Hingga tahun 2022, terdapat 190 negara yang terdaftar sebagai anggota dengan 24 direktur sebagai Dewan Eksekutif.
Sedangkan dana talangan yang disalurkan ke 15 negara sebesar US$ 7,15 miliar. Jika semua negara yang memiliki utang ke IMF dijumlahkan, nilainya menjadi US$ 112,8 miliar.