liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
MASTER38 MASTER38 MASTER38 MASTER38 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 COCOL88 COCOL88 COCOL88 COCOL88 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MAHJONG69 MAHJONG69 MAHJONG69 MAHJONG69 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 ZONA69 ZONA69 ZONA69 NOBAR69 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38
SLOT GACOR HARI INI SLOT GACOR HARI INI
Logo Katadata

Dalam praktik perpajakan, tidak jarang terjadi perbedaan penafsiran peraturan antara wajib pajak dengan pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Perbedaan penafsiran ini sering menimbulkan sengketa pajak.

Oleh karena itu, pemerintah membentuk lembaga peradilan yang khusus menangani sengketa perpajakan. Lembaga ini dikenal dengan Pengadilan Pajak yang berdiri pada tanggal 12 April 2002.

Namun demikian, bukan berarti sebelum Pengadilan Pajak dibentuk pada tahun 2002, Indonesia tidak memiliki badan/lembaga yang menangani sengketa perpajakan. Perjalanan lembaga yang khusus menangani sengketa pajak di Indonesia cukup panjang, sejak zaman kolonial Hindia Belanda.

Berikut penjelasan singkat beberapa lembaga yang khusus menangani sengketa perpajakan di Indonesia, hingga akhirnya terbentuk Pengadilan Pajak.

Dewan Urusan Pajak

Kamar Urusan Pajak (DUP) bisa dikatakan sebagai lembaga pertama di Indonesia yang secara khusus menangani sengketa perpajakan. Dalam bahasa Belanda lembaga ini disebut Raad van Belastingzaken, dan didirikan melalui Staatsblad No.707/1915.

Badan ini hanya berkedudukan di Batavia (Jakarta) yang merupakan pusat pemerintahan dan pusat perdagangan Hindia Belanda. Anggota lembaga ini terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha dan ahli perpajakan. Sedangkan ketuanya adalah Menteri Keuangan Hindia Belanda.

Pada tahun 1927 pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan perubahan melalui Staatsblad No.29/1927, dengan penambahan tata cara banding atau Ordonantie tot Regeling van het Beroep di Belastingzaken. Selain itu, jabatan ketua tidak lagi berada di tangan Menteri Keuangan, melainkan Wakil Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda.

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, keberadaan lembaga ini tetap dipertahankan. Baru pada tahun 1959, pemerintah Indonesia melakukan peninjauan ulang terhadap peraturan di Staatsblad No.29/1927.

Dewan Pertimbangan Pajak

Melalui peninjauan Staatsblad No. 29 Tahun 1927, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1959 tentang Perubahan Regeling Van Het Beroep Di Belastingzaken. Melalui UU 5/1959, Dewan Perimbangan Pajak (MPP) dibentuk.

Mengutip www.ddtc.co.id, materi yang terkandung dalam UU 5/1959 sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Staatsblad No.29/1927. Sebab, undang-undang yang melahirkan MPP lebih banyak mengatur istilah dan jabatan. Selain itu, ada penegasan bahwa MPP berkedudukan sebagai PTUN.

Dengan terbentuknya majelis ini, MPP memegang kekuasaan untuk memeriksa dan memutus keberatan yang diajukan oleh wajib pajak. Majelis ini tidak hanya berwenang menyelesaikan sengketa pajak pusat, tetapi juga pajak daerah. Setelah terbentuknya MPP, kasus sengketa pajak yang menumpuk sebelumnya dapat diselesaikan.

Namun, saat itu banyak pihak yang mengkritisi penggunaan nama MPP tersebut. Sebab, nama ini dianggap menimbulkan salah tafsir terkait fungsinya. Penafsiran ini berarti bahwa MPP hanya memberikan pertimbangan tanpa memutus kasus sengketa pajak. Padahal, dalam praktiknya MPP juga memiliki kewenangan memutus sengketa pajak.

Meski kritik mengenai nama tersebut terus bergema, penggunaan nama MPP tetap digunakan selama 38 tahun sejak didirikan pada tahun 1959. Baru pada tahun 1997 pemerintah kembali meninjau dan mengubah ketentuan mengenai pajak khusus ini. institusi pengadilan.

Badan Penyelesaian Sengketa Pajak

Badan Penyelesaian Sengketa Perpajakan atau BPSP dibentuk melalui UU No. 17 Tahun 1997. Pembentukan MPP didasarkan pada anggapan bahwa keberadaan MPP belum memenuhi syarat penyelesaian sengketa perpajakan.

UU 17/1997 menegaskan kedudukan BPSP sebagai badan peradilan pajak sesuai dengan penjelasan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP).

BPSP bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa perpajakan. Tugas dan wewenang tersebut di luar tugas dan wewenang Mahkamah Agung dan PTUN.

Selain memeriksa dan memutus sengketa perpajakan, BPSP juga berwenang menyelesaikan sengketa kepabeanan dan cukai. Masuknya urusan kepabeanan dan perpajakan dalam sistem pengadilan pajak merupakan konsekuensi dari ditetapkannya Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Perpajakan yang diundangkan pada tahun 1995.

Anggota BPSP sebagai badan peradilan perpajakan berasal dari pemerintah, ahli perpajakan, pengusaha, dan ahli di bidang kepabeanan dan perpajakan.

Meski merupakan lembaga yang menangani sengketa perpajakan dan erat kaitannya dengan hukum, namun tidak berujung pada Mahkamah Agung, melainkan berujung pada Kementerian Keuangan. Karena posisinya tersebut, banyak pihak yang mengkritisi keberadaan BPSP.

Sebab, sebagai badan peradilan, secara hukum segala bentuk putusan sengketa pajak yang diputuskan BPSP harus diselesaikan oleh hakim, bukan oleh anggota badan tata usaha negara.

Adanya konflik kewenangan di pengadilan pajak melalui BPSP menimbulkan akibat hukum. Padahal, jika ketentuan terkait BPSP tidak diubah, maka putusan badan ini bisa dianggap sebagai putusan yang salah dan tidak mencerminkan peradilan yang adil. Sebab, tidak dilakukan oleh sesama badan peradilan pemerintah.

Selain itu, ada pula kritik bahwa keberadaan BPSP bertentangan dengan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 juncto ketentuan Pasal 10 UU Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Aturan ini menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan lainnya sesuai dengan undang-undang. Dari ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman di Indonesia hanya mengenal satu Mahkamah Agung.

Kemungkinan badan lain di luar Mahkamah Agung untuk menjalankan kekuasaan kehakiman harus diatur dengan undang-undang, yang tetap harus mengacu pada UUD 1945 sebagai landasan konstitusinya.

Karena kritik yang mengiringi perjalanan BPSP, pemerintah melakukan peninjauan kembali yang menghasilkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Ketentuan ini diundangkan pada tanggal 12 April 2002.

pengadilan pajak

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Pengadilan Pajak merupakan hasil pengujian ketentuan terkait BPSP. Berbeda dengan BPSP, Pengadilan Pajak merupakan bentuk pengadilan khusus di bawah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Lembaga ini mempunyai kedudukan, kepangkatan dan independensi yang sama dengan pengadilan lain yang sederajat. Karena posisinya yang setara dengan pengadilan lain, lembaga peradilan ini mencapai puncaknya di Mahkamah Agung.

Mengutip www.ddtc.do.id, pembentukan pengadilan pajak memiliki tiga pertimbangan penting. Pertama, meningkatkan jumlah wajib pajak yang memiliki pemahaman perpajakan yang seimbang. Selain itu, otoritas pajak juga semakin menyadari tata kelola yang baik.

Kedua, diperlukan wadah penyelesaian sengketa pajak dengan prosedur dan proses yang cepat dan mudah. Ketiga, perlunya suatu badan peradilan yang dapat memeriksa dan memutus sengketa pajak, yang menghasilkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Tugas dan Wewenang Pengadilan Pajak

Berdasarkan Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 UU No. 14/2002, tugas dan wewenang Pengadilan Pajak adalah sebagai berikut:

Pengadilan pajak memiliki kewenangan administratif, artinya memiliki ruang lingkup dalam penyelenggaraan negara. Bertanggung jawab untuk memeriksa dan memutus perselisihan atas keputusan keberatan pada tingkat banding, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sengketa pajak yang menjadi objek pemeriksaan adalah sengketa yang diajukan oleh pemohon banding dalam keberatan yang perlu diperhatikan dan diputus dalam putusan keberatannya. sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang relevan, maka Pengadilan Pajak berwenang untuk memeriksa dan memutus perselisihan atas pelaksanaan penagihan pajak, bertugas mengawasi advokat yang memberikan bantuan hukum kepada para pihak yang bersengketa dalam sidang pengadilan pajak.

Mengutip penjelasan Asosiasi Pusat Pajak Perguruan Tinggi Indonesia (Atpetsi), Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa perpajakan. Oleh karena itu, putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan kepada pengadilan umum, pengadilan tata usaha negara, atau badan peradilan lainnya.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pengadilan Pajak mendapat pembinaan dari dua lembaga yang berbeda yaitu Mahkamah Agung untuk bantuan teknis peradilan. Kedua, Kementerian Keuangan untuk pembinaan terkait organisasi, administrasi dan keuangan. Namun, pembinaan yang diberikan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sengketa pajak.