Dalam sistem perpajakan Indonesia dikenal adanya pemungutan pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final. Pengenaannya berbeda dengan skema pajak pada umumnya, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak berjalan.
Secara umum, PPh sendiri merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi maupun badan usaha selama satu tahun pajak.
PPh final pada hakekatnya adalah pemungutan pajak atas penghasilan yang memiliki skema tarif dan cara penghitungan yang berbeda dengan PPh non final.
Pengembangan Peraturan Pajak Penghasilan Final
Seiring dengan perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) di Indonesia yang terjadi enam kali sejak tahun 1983, ketentuan PPh final juga mengalami perluasan.
Perubahan peraturan mengenai pajak penghasilan final, yang dilakukan sejalan dengan perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan untuk menyelaraskan kebijakan dengan perkembangan ekonomi dan administrasi perpajakan. Mengutip ddtc.co.id, secara umum pengaturan PPh final di Indonesia terbagi menjadi tujuh periode, berdasarkan undang-undang yang mendasarinya.
1. UU No. 7 tahun 1983
Istilah PPh final pertama kali diperkenalkan ke dalam sistem perpajakan Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU 7/1983).
Berdasarkan UU 7/1983 skema PPh terakhir terdapat pada Pasal 21, Pasal 26, dan Pasal 4 ayat (2). Skema pajak penghasilan final dalam Pasal 21 UU 7/1983 berlaku bagi orang yang tidak mempunyai penghasilan selain penghasilan yang berhubungan dengan pekerjaan.
Penghasilan yang telah dipotong PPh diperlakukan sebagai pembayaran untuk tahun pajak yang bersangkutan sehingga pegawai atau orang tersebut tidak perlu menyampaikan SPT Tahunan.
Kemudian, dalam Pasal 26, skema PPh final digunakan untuk skema pemotongan pajak bagi subjek pajak luar negeri atas objek pajak berupa bunga, dividen, royalti, sewa, dan lain-lain. Sedangkan Pasal 4 Ayat (2) UU 7/1983 menjadi dasar pengenaan PPh final atas bunga deposito berjangka dan simpanan lainnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pajak atas bunga deposito berjangka dan simpanan lainnya diatur dalam peraturan pemerintah.
Selain itu, istilah PPh final juga ditemukan dalam uraian Pasal 8 Ayat (1) yang menyoroti pajak penghasilan bagi suami dan istri. Dalam hal ini, penghasilan istri dianggap telah dipotong PPh final, apabila penghasilan tersebut telah dipotong PPh Pasal 21, dan tidak ada hubungannya dengan usaha suaminya.
Kemudian, ada juga Pasal 15 UU 7/1983 yang mengatur norma penghitungan khusus, yang digunakan untuk menghitung penghasilan neto wajib pajak tertentu, yang tidak dapat dihitung dengan mekanisme umum yang diatur dalam Pasal 16.
2. UU No. 7 tahun 1991
Perubahan peraturan PPh final pertama kali dilakukan sejalan dengan amandemen pertama UU PPh, melalui UU Nomor 7 Tahun 1991. Memang, dalam undang-undang ini pemerintah tidak mengubah aturan pokok mengenai pengenaan final. Ph.D.
Namun demikian, pemerintah mengeluarkan peraturan untuk pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2). Peraturan turunan ini mengatur pajak penghasilan atas bunga deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan diskonto atas surat berharga bank Indonesia (SBI) yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), Wajib Pajak Badan (WP Badan), dan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). ). .
3. UU No. 10 tahun 1994
Pada tahun 1994, pemerintah memutuskan untuk melakukan amandemen kedua atas Undang-Undang Pajak Penghasilan, dengan mengeluarkan Undang-undang No. 10 Tahun 1994. Dalam undang-undang ini, setidaknya ada tujuh poin perubahan ketentuan final pajak penghasilan.
Pertama, jenis penghasilan tambahan yang dikenakan pajak penghasilan final di Indonesia diatur dalam Pasal 4 Ayat (2). Kedua, adanya ketentuan mengenai pemotongan akhir Pasal 23 atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi.
Ketiga, aturan pendelegasian Pasal 15 kepada menteri keuangan, terkait penerapan norma perhitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan Pasal 16 Ayat (1) atau Ayat (3).
Keempat, penambahan jenis objek PPh final baru dalam Pasal 26. Kelima, pengaturan PPh final penilaian kembali aset diatur dalam Pasal 19.
Keenam, ketentuan PPh final dalam Pasal 21 untuk honorarium yang diterima pejabat negara, pegawai negeri sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Ketujuh, pengenaan PPh akhir pasal 22 atas penjualan jenis produk tertentu diatur dalam surat keputusan menteri keuangan.
4. UU No. 17 tahun 2000
Pasca reformasi, pemerintah melakukan amandemen ketiga atas Undang-Undang Pajak Penghasilan, dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Pajak Penghasilan. Dalam Undang-Undang ini, isi Pasal 4 ayat (2) tidak berubah.
Namun, terdapat perubahan aturan yang dikeluarkan dalam Pasal 4 Ayat (2). Dalam peraturan turunan ini terdapat tambahan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final.
5. UU No. 38 Tahun 2008
Periode kelima peraturan PPh final ditandai dengan perubahan keempat UU PPh, melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008. Dalam undang-undang ini terdapat lima poin perubahan ketentuan final PPh.
Pertama, memperluas jenis penghasilan yang dikenakan PPh final dalam Pasal 4 Ayat (2). Kedua, objek PPh Pasal 23 yang terakhir berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi, diubah menjadi objek Pasal 4 Ayat (2).
Ketiga, perluasan objek PPh Pasal 26 yang bersifat definitif yaitu berupa keuntungan dari transaksi keringanan utang dan penjualan atau pengalihan saham di Indonesia. Keempat, adanya pasal baru yaitu Pasal 17 Ayat (2c) yang mengatur tentang pengenaan pajak atas dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi.
Kelima, adanya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pajak penghasilan final bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Peraturan yang dimaksud adalah PP Nomor 46 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Dengan Peredaran Bruto Tertentu.
6. UU No. 11 tahun 2020
Memasuki dekade kedua abad ke-21, aturan tentang pajak penghasilan final kembali berubah. Hal ini ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam UU 11/2020, dividen yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi atau badan dalam negeri dikecualikan dari objek PPh dengan syarat tertentu. Hal itu tertuang dalam Pasal 4 Ayat (3) huruf f Golongan Undang-Undang Pajak Penghasilan dalam UU 11/2020.
Kemudian, terdapat ketentuan baru dalam Pasal 26 Ayat (1b) yang mengatur bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN berupa bunga termasuk premi, diskonto dan imbalan yang berkaitan dengan jaminan pelunasan utang dikenakan tarif sebesar 20% dari bruto penghasilan.
Ketentuan ini sebenarnya sudah berlaku pada periode sebelumnya, namun tidak diatur secara jelas dalam UU PPh.
7. UU No. tahun ke-7 2021
Setahun setelah terbitnya UU Cipta Kerja, pemerintah memutuskan melakukan perubahan peraturan perpajakan. Hal itu diwujudkan melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.
Dalam UU HPP, ada tambahan jenis objek PPh final. Objek pajak tambahan ini tercantum dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf a UU 7/2021 berupa bunga atau potongan atas surat berharga jangka pendek yang diperdagangkan di pasar uang.
Ada juga perubahan Pasal 4 Ayat (2) huruf e UU 7/2021. Sebelumnya, pasal ini hanya menyebutkan bahwa penghasilan tertentu lainnya dapat dikenakan pajak final.
Namun, hal itu diubah dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf e UU 7/2021, dengan mengatur penghasilan tertentu lainnya. Ini termasuk pendapatan dari bisnis yang diterima, atau diperoleh oleh wajib pajak dengan omset bruto tertentu. Penghasilan yang diterima dikenakan pajak penghasilan final.