Situasi ekonomi yang kacau menjadi kondisi yang harus dihadapi pemerintah Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Dapat dikatakan bahwa Indonesia pada saat itu berada dalam situasi sosial, ekonomi, dan keuangan yang kacau. akibat pendudukan Jepang.
Namun, Indonesia tetap bertekad untuk menjadi negara yang berdaulat dan bebas dari pengaruh negara manapun. Oleh karena itu, deklarasi kemerdekaan tidak dapat ditawar lagi.
Di tengah situasi ekonomi yang sulit ini, muncul sosok yang mengemban tugas membangun keuangan negara dari nol. Angka ini meletakkan dasar keuangan negara, dengan mempraktikkan kebijakan ekonomi taktis dan membentuk organisasi kementerian keuangan.
Sosok tersebut adalah Alexander Andries Maramis atau sering dipanggil AA Maramis. Beliau adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia pertama yang juga merupakan pejuang pergerakan organisasi Indonesia pada masa penjajahan Hindia Belanda.
Nasionalis dari Minahasa
AA Maramis lahir di Manado, pada tanggal 20 Juni 1897, dari pasangan Andries Alexander Maramis dan Charlotte Ticoalu. Dia adalah keponakan dari Maria Walanda Maramis, seorang pejuang emansipasi wanita dari Minahasa.
Ia memulai pendidikan sekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS) di Manado. Kemudian melanjutkan SMA di Hogere Burgerschool (HBS) di Batavia (Jakarta).
Setelah HBS, AA Maramis melanjutkan studinya ke Sekolah Tinggi Hukum di Leiden, Belanda pada tahun 1919. Selama di Leiden, ia terlibat dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) atau Indische Vereeniging. Di sinilah patriotismenya mulai terbentuk.
Dia belajar di sekolah hukum ini selama lima tahun. Pada tahun 1924, ia lulus dengan gelar Meester di de Rechten (MR). Meski lulusan Belanda, AA Maramis tidak mau bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda. Ia memilih menjadi pengacara di Semarang, kemudian melanjutkan praktik hukumnya di Samarinda dan Batavia.
Selain bekerja sebagai pengacara, AA Maramis juga terlibat dalam kegiatan politik. Ia dikenal aktif di berbagai organisasi, mulai dari organisasi kepemudaan, partai politik, komunitas Kawanua, hingga organisasi gereja.
Ia juga dikenal karena sikapnya yang tidak kooperatif terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sikap itu ditunjukkannya dengan menolak secara tegas pengangkatannya sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Di mata rekan-rekannya, AA Maramis dikenal sebagai pribadi yang kuat, pendiam, cerdas, dan keras kepala.
Posisi AA Maramis menjadi semakin penting pada masa pendudukan Jepang. Ia menjadi anggota Pusat Tenaga Rakyat (Poetera), Chuo Sangi-in (Dewan Pertimbangan Pusat), hingga Dokuritu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Pengkajian Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Ia dipilih tidak hanya karena mewakili kelompok minoritas, tetapi juga karena pengalamannya sebagai ahli hukum internasional. Karena keahliannya itu, sosok AA Maramis sangat dipuji dalam organisasi persiapan kemerdekaan Indonesia.
“Beliau bagian dari Panitia Sembilan yang membuat draf pembukaan UUD, dan satu-satunya anggota yang beragama Kristen,” tulis Manus dkk, dalam ‘Investigative Body Figures for Indonesian Independence II Persiapan Usaha’, dikutip dari Oktober. Media Finance edisi 2020.
Menjadi Bendahara Negara
Setelah Indonesia merdeka, dibentuklah Kabinet Presidensial. Dalam kabinet ini, AA Maramis diangkat sebagai Menteri Negara Tanpa Portofolio. Namun, dalam surat pengangkatannya, ia juga diangkat sebagai Wakil Menteri Keuangan. Sedangkan posisi Menteri Keuangan dijabat oleh Dr. Samsi Sastrawidagda.
Namun, Samsi Sastrawidagda hanya menjabat selama dua minggu dan mengundurkan diri karena masalah kesehatan. Maka, pada tanggal 25 September 1945, AA Maramis diangkat menggantikannya.
Oleh karena itu, AA Maramis merupakan Menteri Keuangan Republik Indonesia de facto yang pertama. Jabatan ini kembali dipegangnya pada Kabinet Amir Sjarifuddin I (1947) dan II (1947) serta Kabinet Hatta (1948).
Sebagai Menteri Keuangan, AA Maramis memiliki tugas yang sangat berat. Pasalnya, ia harus membangun organisasi keuangan negara di tengah kekacauan yang bisa disebut. Namun, ia menjalankan tugas itu dengan serius dan akhirnya berhasil meletakkan fondasi keuangan negara, yang terus bertahan di tengah badai Perang Revolusi Kemerdekaan.
Dari segi organisasi kementerian, AA Maramis memutuskan untuk mengadopsi struktur Gunseikanbu Zaimubu atau Kementerian Keuangan Jepang. Namun, ia melakukan beberapa perubahan, sesuai dengan semangat Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Penerimaan terhadap bangunan peninggalan Jepang ini tidak berlangsung lama. Pada tanggal 29 September 1945, ia mengeluarkan dekrit yang melucuti hak dan kekuasaan pejabat pemerintah militer Jepang.
Hak yang dirampas ini mencakup semua masalah penerbitan dan penandatanganan perintah pembayaran, pengelolaan pengeluaran negara, hingga semua urusan perbendaharaan negara. Ia menyerahkan hak tersebut kepada Asisten Bendahara Negara yang diangkat dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan.
Menyiapkan Organisasi Kementerian Keuangan dan ORI Kebidanan
AA Maramis menciptakan organisasi Kementerian Keuangan pertama. Organisasi ini terdiri dari lima jabatan (eselon) I yaitu Pejabat Umum, Pejabat Keuangan, Pejabat Pajak, Penerima Candu dan Garam, dan Pejabat Pajak Hipotek.
Saat mendirikan organisasi, dia meminta Kementerian Keuangan dipimpin oleh pejabat yang memiliki loyalitas tinggi terhadap negara, negara, dan proklamasi kemerdekaan.
Pada tahun 1948, organisasi Departemen Keuangan menjadi lebih tertata dan cukup lengkap menurut standar negara yang baru merdeka. AA Maramis mengubah nomenklatur resmi menjadi Biro. Pada saat itu struktur organisasi Kementerian Keuangan (saat itu disebut Kementerian Keuangan) adalah sebagai berikut:
1. Kantor Pusat Kementerian Keuangan yang didalamnya termasuk Sekretaris Utama.
2. Thesauri Negeri yang merupakan gabungan dari Kantor Keuangan dan Kantor Urusan Piutang, Kredit dan Perbankan dan bertugas untuk melaksanakan fungsi anggaran dan perbendaharaan, yang meliputi:
Pemeriksaan Anggaran. Bagian Anggaran Negara. Divisi Statistik Keuangan. Departemen Keuangan. Biro Akuntansi Negara. Biro Perbendaharaan dan Kas. Biro Kontrol Kas. Biro Normalisasi. Biro perjalanan.
3. Kantor Pajak
4. Kantor Pabean
5. Kantor Perpajakan dan Pertanahan
6. Kantor Penerimaan dan Candu
7. Kantor Pajak Hipotek
8. Agen Perjalanan.
Langkah penting lainnya, demi keutuhan cara pembayaran yang sah, ia memerintahkan pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI). Meski mengalami kendala, upaya itu berhasil dengan dikeluarkannya uang kertas ORI pertama pada 30 Oktober 1946.
Melalui Keputusan Menteri Keuangan tanggal 29 Oktober 1946, ORI dinyatakan berlaku efektif sejak tanggal 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Selanjutnya, tanggal 30 Oktober telah dikukuhkan sebagai Hari Oeang Republik Indonesia.
AA Maramis menyadari pentingnya memiliki mata uang sendiri bagi Indonesia yang baru merdeka. Tidak hanya itu, Belanda kembali melakukan penjajahan termasuk dengan memperkenalkan “uang NICA”, tetapi juga karena memiliki mata uang sendiri merupakan simbol kedaulatan NKRI.
Kehadiran ORI juga merupakan Instrumen Revolusioner. Karena kehadirannya menunjukkan bahwa pemerintah Republik Indonesia mampu mengatur administrasi, mengatur dan memperkuat tentara, serta menjaga keamanan, ketertiban, dan memelihara kesejahteraan rakyat dalam perang melawan Belanda.
AA Maramis juga memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengeluarkan mata uangnya sendiri yang dikenal dengan nama Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA). Ia mengambil kebijakan tersebut, karena pada tahun 1947 Belanda melancarkan Agresi Militer I yang menggerus wilayah negara Republik Indonesia. Hal ini menyebabkan distribusi ORI secara nasional terhambat.
Karena itu, dia mengizinkan ORIDA dimulai dari Sumatera. Penggunaan ORI dan ORIDA merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam menjaga kemandirian.
Selain menata Kementerian Keuangan dan memulai pencetakan ORI, AA Maramis juga bertugas mencari dana untuk membiayai angkatan bersenjata melalui perdagangan luar negeri.
Salah satu usahanya untuk mendapatkan pendanaan keuangan negara adalah dengan melakukan perdagangan opium. Perdagangan opium ini diusulkan oleh AA Maramis yang kemudian disetujui oleh Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta. Tujuan perdagangan opium ini adalah untuk membayar gaji pegawai pemerintah.
Selain itu, hasil penjualan opium juga digunakan untuk membentuk dana devisa untuk membiayai perwakilan pemerintah Indonesia di Singapura, Bangkok, Rangoon, New Delhi, Kairo, London, dan New York.
Namun, ia tidak menutup mata terhadap bahaya opium bagi masyarakat. Oleh karena itu, dengan tegas ia memerintahkan agar perdagangan opium tidak boleh dilakukan untuk umum, baik di wilayah NKRI maupun di wilayah jajahan Belanda. Perdagangan opium lebih terfokus pada upaya perdagangan luar negeri.
Menteri Keuangan Sekaligus Menteri Luar Negeri
Tanggung jawab AA Maramis bertambah, menyusul Invasi Angkatan Darat Kedua, yang berujung pada penangkapan beberapa tokoh penting Republik Indonesia, antara lain Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Menyusul Agresi Militer Belanda Kedua ini, dibentuklah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Halaban, Sumatera Barat, di bawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara. AA Maramis yang berada di New Delhi, India, kemudian diangkat menjadi Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan.
Delegasi Indonesia di New Delhi berperan penting dalam mengembangkan hubungan diplomatik, diplomasi dan membentuk opini dunia tentang perjuangan Indonesia. Di New Delhi, AA Maramis mendirikan badan bernama “Sentralisasi Keuangan”, yang merupakan saluran informasi dan bantuan keuangan untuk membantu berbagai kebutuhan urusan diplomatik Republik di luar negeri.
Terhadap sosoknya, pemerintah Belanda pun memiliki penilaian tersendiri. Apalagi saat menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Menteri Luar Negeri.
Dalam buku “Sejarah Kecil: Petite Histoire Volume 3” disebutkan bahwa Belanda menyebut AA Maramis sebagai Menteri Een daadkrachtige van Buitenlandse Zaken en Financien di New Delhi. Yakni, Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan yang bertindak tegas di New Delhi.
Senja AA Maramis
Mengutip Financial Media Edisi Oktober 2020, pasca peralihan kedaulatan pada 27 Desember 1949, AA Maramis menjabat sebagai duta besar untuk berbagai negara, antara lain Filipina, Jerman Barat, Uni Soviet, dan Finlandia. Setelah meninggalkan posisinya sebagai wakil Pemerintah Indonesia di Uni Soviet dan Finlandia, ia dan keluarganya menetap di Lugano, Swiss hingga tahun 1976.
Pada tahun 1974, ia bergabung sebagai anggota “Panitia Lima Penafsiran Pancasila Terpadu sebagaimana tercantum dalam UUD 1945”, yang dipimpin oleh Mohammad Hatta. Ia pun sempat menandatangani naskah reorganisasi konstitusi negara pada 18 Maret 1975. Namun, setelah itu kondisi AA Maramis yang sudah lanjut usia semakin melemah dan jatuh sakit.
Pada tahun 1976, ia kembali ke Indonesia. Setelah setahun tinggal di Indonesia, AA Maramis meninggal dunia pada tanggal 31 Juli 1977 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Atas kiprah dan perjuangannya, AA Maramis telah mendapatkan beberapa penghargaan. Di antaranya Bintang Mahaputra Utama (1961), Bintang Gerila (1963), dan Bintang Republik Indonesia Utama (1992). Pada tahun 2019, AA Maramis mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
Kemenkeu mengabadikan AA Maramis sebagai nama gedung besar monumental di kompleks Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Bangunan ini awalnya dirancang sebagai pengiring Istana Gubernur Jenderal oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun, karena rencana tersebut gagal dilaksanakan, pemerintah pasca kemerdekaan menggunakannya sebagai Kantor Pusat Urusan Keuangan Negara.
Gedung ini merupakan tempat pertama AA Maramis bekerja sebagai Menteri Keuangan di awal kemerdekaan. Gedung ini kemudian diberi nama ‘Gedung AA Maramis I’.