liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
Melacak Jejak Fisik Oeang Republik Indonesia, Berawal dari Pabrik Kopi

Pada masa Revolusi Kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia yang baru merdeka menghadapi kesulitan ekonomi, terutama keuangan. Saat itu, mata uang yang beredar adalah uang hasil ciptaan pemerintah pendudukan Jepang, Dai Nippon Teikoku Seihu, atau sering disebut rupiah Jepang, dan peninggalan Hindia Belanda, De Javasche Bank (DJB).

Pasca proklamasi kemerdekaan, pemerintah mulai memikirkan pentingnya memiliki mata uang sendiri. Hal ini dikarenakan keberadaan mata uang yang memiliki identitas asli Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan simbol kedaulatan, dan merupakan alat pemersatu bangsa.

Didorong oleh Ancaman Uang NICA

Namun, sulit bagi pemerintah saat itu untuk membuat mata uangnya sendiri. Kesulitan muncul mulai dari sulitnya mencari bahan baku, hingga mencari printer. Upaya mencetak uang di Surabaya gagal. Begitu juga di Jakarta.

Padahal, kebutuhan mencetak uang tergolong mendesak. Hal ini karena Indonesia menghadapi ancaman kembalinya Belanda yang datang dengan menunggangi tentara sekutu. Ancaman ini tidak hanya hadir dalam bentuk konfrontasi militer, tetapi juga dalam mata uang untuk mendelegitimasi kedaulatan NKRI.

Ancaman mata uang yang dimaksud berupa uang yang diciptakan oleh Dutch East Indies Public Administration (NICA), yang sering disebut uang NICA atau “Red Money”. Dinamakan demikian karena warna dominan uang ini adalah merah.

Seruan dari pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 2 Oktober 1945, agar masyarakat tidak menerima uang yang dibawa oleh NICA, tidak efektif dalam jangka pendek. Pasalnya, Belanda langsung mendapatkan akses ke kantor bank Jepang pada 10 Oktober 1945.

Bank bentukan Jepang ini kemudian ditutup, dan Belanda menghidupkan kembali DJB yang berfungsi sebagai bank sirkulasi. Pada tanggal 6 Maret 1946, Belanda secara resmi mulai mengedarkan dan menetapkan Uang Merah sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah pendudukan.

Gerak cepat Belanda mendistribusikan “Uang Merah” ini ditanggapi oleh pemerintah Indonesia dengan cara mempercepat pencetakan uang pribumi Indonesia. Usaha ini membuahkan Oeang Republik Indonesia (ORI).

Namun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pencetakan ORI cukup sulit pada masa Revolusi Kemerdekaan terutama terkait tempat pencetakannya. Sebab, saat itu Indonesia belum memiliki percetakan uang sendiri.

Menyelamatkan Pabrik Kopi

Di tengah sulitnya mencari tempat mencetak ORI, pemerintah bertahan dengan hadirnya pabrik besar dan canggih yang berlokasi di Jawa Timur. Uniknya, pabrik tempat ORI pertama kali dicetak bukanlah pabrik percetakan uang, melainkan pabrik kopi.

Pabrik kopi yang datang menyelamatkan adalah Nederlandsch-Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken atau NIMEF. Pabrik berlokasi di Kendalpayak, Malang, Jawa Timur.

NIMEF didirikan pada tahun 1901 oleh L. Schol dan H. Janssen van Raay, berfungsi sebagai pemanggang kopi. Dalam perjalanannya, NIMEF telah bertransformasi menjadi pabrik manufaktur berskala besar, yang tidak hanya terlibat dalam penyangraian kopi, tetapi juga memproduksi kertas dan kemasan kaleng.

Selain itu, NIMEF juga memproduksi berbagai kardus mulai dari kotak amplop hingga kotak obat. Mengutip Media Finance Edisi Oktober 2020, pabrik ini juga memproduksi berbagai barang kebutuhan pokok, seperti buku kantor, kartu nama, hingga tiket trem, kereta api, dan tiket bioskop.

Aset yang dimiliki NIMEF tergolong paling canggih di Indonesia saat itu. Pabrik ini dilengkapi dengan mesin press perunggu, serta mesin press berkecepatan tinggi yang digerakkan secara elektrik. Beberapa mesin tersebut didatangkan langsung dari Eropa, ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda.

Ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda, pabrik NIMEF digunakan sebagai tempat pembuatan bahan peledak. Namun, fungsi produksi lainnya tetap dipertahankan.

Setelah Indonesia merdeka, pabrik NIMEF di Kendalpayak, Malang, digunakan pemerintah Indonesia untuk mencetak ORI. Nama tersebut kemudian diubah oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia saat itu, AA Maramis, menjadi Pabrik Kaleng dan Percetakan (PKPN) Kendalpayak Negeri Kendalpayak. Namun, orang masih menyebutnya sebagai NIMEF.

Selain memiliki fasilitas yang cukup, lokasi NIMEF juga sangat cocok untuk mencetak uang pertama Republik Indonesia. Pasalnya, lokasinya jauh dari medan pertempuran yang berkecamuk di berbagai kota. Kawasan ini juga dikuasai oleh pemerintah Indonesia.

Pencetakan ORI Cepat

Setelah NIMEF ditunjuk sebagai tempat mencetak uang, Panitia Pengelola Pencetakan Uang Republik Indonesia langsung mencari bahan. Kebutuhan kertas dibantu oleh Serikat Pekerja Kertas Padalarang. Belakangan, mesin pembuat kertas tersebut berhasil didatangkan dari pabrik Padalarang sebelum diambil alih tentara Belanda.

Sedangkan bahan kimia didatangkan dari Jakarta dan dari laboratorium pabrik gula di Jawa Timur. Dengan bahan yang tersedia dan mesin cetak NIMEF, uang pertama di Indonesia berhasil diproduksi.

Tidak hanya pabrik di Malang, pencetakan ORI juga dilakukan di pabrik NIMEF yang berlokasi di Solo dan Yogyakarta. Ketiga fasilitas ini juga mendapatkan pengawasan yang sangat ketat, untuk kelancaran usaha pencetakan ORI.

Untuk mendistribusikan ORI, uangnya dimasukkan ke dalam besek, kemudian dimasukkan kembali ke dalam guni guni dan diangkut dengan kereta api ke seluruh Jawa. Maka, pada tanggal 30 Oktober 1946, sebagai tanggal dikeluarkannya ORI yang pertama. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Uang.

Jika dilihat dari timeline, pencetakan ORI ini cukup cepat, dari pertama kali dikonsep hingga pendistribusiannya. Hanya butuh waktu sekitar tujuh bulan, sejak Belanda menetapkan uang NICA sebagai alat pembayaran, hingga munculnya ORI. Kecepatan pemerintah Republik Indonesia memproduksi dan mendistribusikan ORI ini antara lain berkat kehadiran NIMEF.

Sayangnya, pencetakan ORI di NIMEF baru terjadi dua tahun setelah Indonesia merdeka. Perannya sebagai tempat mencetak uang harus dihentikan, karena pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi Militer I.

Bahkan pabrik NIMEF di Malang pun harus dibakar habis, agar aset tersebut tidak jatuh ke tangan Belanda. Sementara itu, semua uang cetakan dan barang berharga lainnya dipindahkan ke Yogyakarta dengan pengawasan ketat.