Philip Morris International menginvestasikan US$ 9 miliar atau Rp 137 triliun untuk mengembangkan produk tembakau tanpa asap atau dikenal dengan rokok elektrik. Perusahaan tersebut merupakan induk perusahaan dari PT Hanjaya Mandala Sampoerna yang memproduksi rokok elektrik dengan nama I Quit Original Smoking alias IQOS.
Jauh sebelum produk ini dikenal, Sampoerna sudah dikenal sebagai produsen rokok kretek. Berbasis di Surabaya, perusahaan telah memproduksi dan memasarkan rokok kretek merek Dji Sam Soe sejak tahun 1913.
Ini adalah salah satu rokok kretek yang masih beredar di pasaran. Usianya sudah lebih dari satu abad.
Siti Aisyah, pekerja rolling mill Sampoerna (Khas)
Startup Bisnis Sampoerna
Perjalanan Dji Sam Soe berawal dari seorang pendatang asal Tiongkok, Liem Seeng Tee. Dia baru berusia tujuh tahun saat berlayar dari Fujian, China ke Surabaya bersama ayahnya pada tahun 1990.
Sayangnya, hanya enam bulan setelah tiba di Surabaya, ayahnya jatuh sakit parah dan meninggal dunia. Ia menjadi yatim piatu dan hidup sederhana bersama keluarganya di Bojonegoro.
Liem Seeng Tee kemudian mulai berdagang. Ketika dia berumur 11 tahun, dia meninggalkan keluarganya dan mencari nafkah di luar kota.
Liem mencari nafkah dengan berbisnis di kereta api Jakarta-Surabaya. Dengan kerja kerasnya di setiap kereta, dia bisa membeli sepeda bekas untuk dijual.
Pada tahun 1912, Liem Seeng Tee menikah dengan Siem Tjiang Nio dan menyewa ruko kecil di Jalan Tjantian, Surabaya. Keadaan ekonomi semakin membaik. Ia berhasil membeli bekas gedung Jongens Weezen Inrichting, sebuah yayasan panti asuhan kolonial Belanda.
Dengan lahan seluas 1,5 hektar ini, ia mulai memproduksi rokok kretek pertama dan legenda Sampoerna, Dji Sam Soe. Usaha rokok kretek ini dimulai pada tahun 1913 dengan nama Handel Maatchapij Liem Seeng Tee dan berubah menjadi NV Handel Maatchapij Sampoerna alias HM Sampoerna.
Di akhir Perang Dunia II, perusahaan berganti nama menjadi Indonesia, PT Hanjaya Mandala Sampoerna. Ini adalah nama perusahaan yang digunakan sampai sekarang.
Ketika Rokok Lebih Stabil Dari Mata Uang
Garda Maeswara dalam buku Cikeas Menjangan menulis, bisnis Sampoerna baru dimulai tiga tahun setelah berdiri. Pada tahun 1916, Liem Seeng Tee membeli berbagai jenis tembakau dari seorang pedagang.
Liem bersikeras mengubah perusahaannya menjadi kerajaan tembakau. “Beliau memilih nama Sampoerna untuk menggambarkan keinginannya menghasilkan produk tembakau terbaik dan meraih predikat raja rokok kretek,” tulis Garda dalam buku terbitan Narasi.
Dengan berbagai strategi tersebut, bisnis Liem Seeng Tee semakin sukses. Pada tahun 1940, ia bisa memproduksi tiga juta batang rokok per minggu.
Bahkan dalam buku 4-G Marketing: A 90-year Journey of Creating Everlasting Brands, Dji Sam Soe dijadikan mata uang para pedagang saat itu. “Karena nilainya lebih stabil dari mata uang resmi,” mengutip buku yang ditulis Hermawan Kartajaya, Yuswohady, dan Sumardy.
Filosofi Cina berakar pada pemilihan nama perusahaan dan produk. Menurut buku Mereka Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi karya M. Taufiqurohman, Dji Sam Soe berasal dari bahasa Hokkien yang artinya dua, tiga dan empat. Jika dijumlahkan, hasilnya sembilan.
Begitu juga dengan nama Sampoerna, memiliki dua arti. Pertama, ejaan kata “sempurna” dan kedua, kata Sampoerna terdiri dari sembilan huruf. “Orang Cina percaya bahwa sembilan adalah angka keberuntungan,” kata Elvira Lianita, Manajer Komunikasi Eksternal PT HM Sampoerna, seperti dikutip dari buku tersebut.
Siti Aisyah, pekerja rolling mill Sampoerna (Khas)
Bisnis Keluarga Tiga Generasi
Liem Seeng Tee meninggal pada tahun 1956, sehingga kesuksesan Sampoerna diserahkan kepada putranya, Liem Swee Ling, yang dikenal dengan nama Aga Sampoerna.
Aga fokus pada produksi sigaret kretek tangan alias SKT dengan nama Sampoerna Hijau. Kini produk tersebut dikenal dengan nama Sampoerna Kretek.
Dia kemudian mengangkat putranya, Putra Sampoerna, ke manajemen pada tahun 1970-an. Setelah 13 tahun, Putra juga menjabat sebagai CEO Sampoerna menggantikan ayahnya.
Putra Sampoerna menorehkan dua kesuksesan. Pertama, menghilangkan sistem agen dari rantai distribusi. Ia membangun fasilitas produksi seluas 153 hektar di Sukorejo, Jawa Timur, dan membeli tembakau langsung dari petani.
Belakangan, ia membawa Sampoerna ke lantai Bursa Efek Indonesia pada 1990 dengan kode saham HMSP.
PMI Akuisisi HM Sampoerna
Setelah enam tahun tercatat di bursa, produsen rokok terbesar dunia, Phillip Morris International (PMI), mengincar peluang bisnis dengan Sampoerna. Pada bulan Maret 2005, PMI mengakuisisi 97% saham Sampoerna, menjadikannya pemegang saham mayoritas HMSP.
Setelah mengakuisisi saham keluarga Sampoerna, PMI kembali membeli 57% saham yang ditawarkan melalui tender offer. Saat itu, Badan Pengawas Pasar Modal mensyaratkan mekanisme ini jika lebih dari 20% saham dibeli dengan harga tertentu. Tujuannya untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas yang ingin menjual sahamnya kepada PMI.
Dengan aksi korporasi ini, PMI menggelontorkan dana hingga Rp48,5 triliun. “Ini akuisisi terbesar yang pernah dilakukan Philip Morris, meski kami juga pernah melakukannya di negara lain,” kata Martin King, Presiden Direktur Sampoerna kepada Tempo pada 2005.
Hingga tahun 2021, Sampoerna berhasil menguasai 28% pangsa pasar rokok di Indonesia. Dengan angka itu, penjualan bersih pada 2021 mencapai Rp 98,9 triliun dan laba Rp 7,1 triliun.