Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dibebaskan dari LP Sukamiskin, Bandung, hari ini, Selasa (11/4). Anas mendekam di Lapas Sukamiskin setelah mendapat vonis delapan tahun penjara dan denda Rp300 juta, tiga bulan kurungan. Ia divonis bersalah dalam kasus korupsi di Wisma Atlet Hambalang.
Sejak kasus korupsi terungkap, nama Anas Urbaningrum identik dengan Rumah Atlet Hambalang. Sebelumnya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKN) Gede Pasek Suardika mengatakan Anas akan kembali berpolitik dan berterus terang tentang korupsi yang menjeratnya.
ANTARA PENYULUHAN KORUPSI UNTUK PIHAK SWASTA SAAT INI (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.)
Berawal dari Korupsi Nazaruddin
Nama Anas Urbaningrum mencuat ke publik dalam kasus korupsi Rumah Atlet Hambalang setelah Nazaruddin ‘dihanguskan’. Nazaruddin saat itu sudah diincar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA di Palembang yang melibatkan mantan Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, dan sejumlah pejabat. direktur perusahaan yang terlibat dalam pembangunan rumah tamu.
Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut pada 4 Juni 2011, namun kabur ke Singapura pada 23 Mei 2011 sebelum dicekal KPK. Ia dinyatakan bersalah menerima komisi 13% atau total Rp 25 miliar, di mana ia hanya menerima Rp 4,3 miliar.
Nazaruddin ditangkap di Cartagena, Kolombia, pada 6 Agustus 2011 dan menjalani sidang pertamanya pada 16 November 2011. Dalam nota pembelaan atau pembebasannya, Nazaruddin menyebut keterlibatan Anas Urbaningrum dalam korupsi wisma atlet lainnya, Hambalang.
Nazaruddin mengatakan Anas mengatur agar PT Adhi Karya memenangkan proyek pembangunan kampung atlet di Bogor, Jawa Barat. “Pak Anas Urbaningrum yang memutuskan pemenang proyek Hambalang adalah PT Adhi Karya, bukan PT DGI (Duta Graha Indah). Pak Mahfud Suroso (Direktur KBRI Citralaras) yang merupakan sahabat dekat Anas Urbaningrum yang menyampaikan itu,” kata Nazaruddin saat membacakan dispensasinya pada 7 Desember 2011.
Soal keterlibatan Anas sebagai pengelola proyek Wisma Hambalang senilai Rp 1 triliun, Nazaruddin mengatakan hal itu didasari kebutuhan Anas untuk menggelar kongres. Saat itu, menurut Nazaruddin, Anas membutuhkan dana sekitar Rp 100 miliar untuk terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
Anas kemudian mendekati PT DGI, perusahaan milik Nazaruddin. Namun, PT DGI tidak bisa memenuhi “kebutuhan” Anas saat itu. Anas meminta Nazaruddin mundur karena tak setuju dengan permintaan pembayaran Rp 50 miliar untuk memenangkan PT DGI.
Sebelumnya, PT DGI mendekati Wafid Muharam dan menyuapnya Rp 20 miliar untuk memenangkan tender Hambalang. Tender tersebut akhirnya dimenangkan oleh PT Adhi Karya.
Menjadi Sasaran Komisi Pemberantasan Korupsi
Nyanyian Nazaruddin mendapat perhatian KPK. KPK serius mengusut dugaan korupsi seputar pembangunan Rumah Atlet Hambalang atau Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) dan menetapkan Anas sebagai tersangka pada Februari 2013.
Anas dinyatakan bersalah menerima hadiah Rp 2,21 miliar dari PT Adhi Karya. Selain itu, ada Toyota Harrier senilai Rp 670 juta dan hadiah lainnya.
Hakim di pengadilan tipikor saat itu menyatakan Anas juga terbukti menerima uang hadiah sebesar Rp 25,3 miliar dan US$ 36 ribu dari Grup Permai. Dari Nazaruddin sendiri, hakim menyatakan dirinya terbukti menerima uang Rp30 miliar dan US$5,2 juta.
Menurut hakim, hadiah dari Kelompok Permai dan Nazaruddin digunakan Anas untuk kepentingan kongres Partai Demokrat dan memuluskan pencalonannya sebagai ketua. Belakangan, penggunaan uang untuk pencalonan ini dinyatakan tidak terbukti oleh majelis hakim pada tahap uji materi.
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Anas divonis delapan tahun penjara dan diharuskan membayar denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan. Ia kemudian mengajukan kasasi ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan diringankan menjadi tujuh tahun penjara serta tetap didenda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Ia kemudian mengajukan kasasi pada 2015, namun saat itu kasasinya ditolak oleh majelis hakim yang diketuai hakim Artidjo Alkostar. Bahkan, hukumannya dinaikkan menjadi 14 tahun penjara dengan denda Rp 5 miliar subsider 1,4 tahun kurungan, dan ganti rugi kepada negara Rp 57,592 miliar.
Hakim saat itu memberikan catatan bahwa Anas harus membayar ganti rugi dalam waktu satu bulan. Jika tidak dilunasi dalam jangka waktu tersebut, seluruh harta Anas akan dilelang. Jika setelah pelelangan tidak cukup, dia menghadapi hukuman empat tahun penjara.
Selain itu, Anas diberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik. Pidana tambahan ini merupakan permintaan dari jaksa KPK yang diakomodasi oleh majelis hakim di tingkat kasasi.
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim itu mendekati tuntutan jaksa KPK di pengadilan tingkat pertama. Saat itu, jaksa menuntut hukuman 15 tahun penjara dengan ganti rugi Rp 94 miliar dan US$ 5,2 juta.
Namun, Anas tetap melawan dan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Dalam upaya itu, Anas mendapat keringanan hukuman dari 14 tahun menjadi delapan tahun, sama seperti putusan pengadilan tingkat pertama.
Majelis hakim setingkat PK kemudian diketuai oleh Sunarto yang bertugas sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung untuk urusan non yustisial. Menurut majelis hakim, ada kekeliruan hakim di kasasi Mahkamah Agung saat menyimpulkan alat bukti yang dijadikan sebagai fakta hukum tentang tindak pidana yang dilakukan Anas.
Pertimbangannya saat itu, antara lain, tidak adanya bukti seluruh uang yang dikeluarkan perusahaan untuk kendali Anas dan terkait proses pencalonannya sebagai ketua partai. Uang yang terkumpul untuk menggalang dana pencalonan ketua berasal dari simpatisan Anas.
Meski hukumannya dikurangi, Anas tetap tidak diizinkan untuk dipilih menjadi pejabat publik selama lima tahun sejak menjalani hukuman utamanya. Selain itu, Anas masih wajib mengembalikan Rp 57 miliar dan US$ 5,2 ribu kepada negara.
Dalam surat perintah penyidikan yang dikeluarkan KPK, Anas tak hanya mendapat imbalan dari proyek Hambalang. Ia disebut menerima berbagai suap dari proyek lain di berbagai kementerian.
Nama Anas kembali terseret dalam pusaran korupsi e-KTP, ia diduga menerima dana US$5,5 juta yang sebagian masuk ke kongres Partai Demokrat pada Mei 2010 yang memilih Anas sebagai ketua.
Nama Seputar Hambalang Korupsi
Korupsi Hambalang tak berhenti pada nama besar Anas Urbaningrum. Setelah Anas, Angelina Sondakh divonis menerima suap Rp 2,5 miliar dan US$ 1,2 juta dalam pembahasan anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Angelina Sondakh dinyatakan bersalah menggunakan posisinya sebagai Badan Anggaran DPR untuk ‘memantau’ nilai anggaran proyek di dua kementerian untuk memenuhi permintaan Grup Permai. Nazaruddin diduga diutus Anas untuk membahas berbagai proyek di Kementerian Pemuda dan Olahraga, khususnya proyek di Hambalang dan menemui Andi Alfian Mallarangeng, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga yang juga terlibat dalam kasus ini.
Angie, begitu dia disapa, divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 2,5 juta di pengadilan tingkat pertama. Hukumannya bertambah menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta serta kewajiban membayar uang pengganti Rp 12,58 miliar dan US$ 2,35 juta di tingkat kasasi.
Sama seperti Anas, hukuman korupsi yang dilakukannya dikurangi di tingkat PK menjadi 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta tanpa kewajiban membayar ganti rugi. Belakangan, setelah dibebaskan, dia membuat pernyataan yang menyiratkan bahwa dia telah melindungi dalang Hambalang yang sebenarnya demi keselamatan putranya.
Selain Angie, ada juga Andi Mallarangeng yang saat itu bertugas sebagai Menpora. Ia divonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan.
Saat itu, dia diduga memperkaya diri dengan menerima hadiah Rp 4 miliar dan US$ 550 ribu dari proyek Hambalang. Uang tersebut diterima secara bertahap melalui kakaknya, Andi Zulkarnain Anwar (Choel Mallarangeng) dan beberapa pejabat di Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Andi berperan sebagai regulator dalam proses anggaran dan pengadaan barang dan jasa di mega proyek P3SON. Melalui peran tersebut, ia dituding memperkaya sejumlah pejabat dan korporasi hingga merugikan keuangan negara sebesar Rp463,391 miliar.
Andi menjalani hukuman penjara di Lapas Sukamiskin dan dinyatakan berstatus bebas murni pada 19 Juli 2017. Selain Andi dan Angie, Nazaruddin menyebut nama lain termasuk Edhie Baskoro Yudhoyono, namun hingga kini perkara tersebut tak pernah terbukti meski namanya adalah tersebut. dalam dokumen rekap data keuangan PT Anugerah, perusahaan Nazaruddin, yang terlibat dalam kasus ini.