Pekerjaan sebagai pengemudi ojek online (ojol) menjadi populer beberapa tahun terakhir, karena jam kerjanya fleksibel dan pendapatannya tinggi. Namun saat ini, sebanyak 66% driver ojol justru ingin menjadi pekerja kantoran.
Hal itu berdasarkan hasil riset Mahasiswa Doktor London School of Economics (LSE) Muhammad Yoga Permana terhadap 1.000 kurir dan tukang ojek online di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada 2021-2022.
“Dua pertiga dari mereka mengatakan bahwa jika mereka bisa memilih, mereka lebih memilih pekerjaan tradisional 9-ke-5 daripada menjadi pengemudi ojek online,” kata Yoga di situs resmi LSE.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Persatuan Armada Rental Seluruh Indonesia (PAS INDONESIA) Wiwit Sudarsono mengakui para pengemudi ojol mengalami perubahan terutama dari segi pendapatan yang menurun. “Rasanya pas,” kata Wiwit kepada Katadata.co.id, dikutip Sabtu (11/3).
Ia mengatakan, menjadi driver ojol saat ini tidak menjanjikan, tidak seperti tiga tahun lalu. Penghasilan pengemudi ojol saat itu cukup untuk menutupi kebutuhan hidup, biaya sekolah anak, cicilan kendaraan, dll. “Tapi sekarang menjadi ojol tidak seperti dulu lagi,” ujarnya.
Wiwit mengatakan faktor yang dapat menyebabkan penurunan pendapatan adalah adanya beberapa aplikator baru dan ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan oleh aplikator. “Sehingga penghasilan driver ojol tidak sebanding dulu, hal ini juga berlaku untuk taksi online,” ujarnya.
Ada tiga hal yang mendorong pengemudi ojek atau ojol online kini ingin menjadi pekerja kantoran:
1. Janji terkait pendapatan dianggap tidak tepat
Di awal kemunculan ojek online, penyedia jasa atau aplikator seperti Gojek dan Grab menawarkan promo besar-besaran. Begitu juga dengan skema insentif bagi driver ojol.
Namun, skema bonus harian yang ditawarkan kepada pengemudi ojek atau ojol online dinilai sudah tidak menarik lagi.
“Untuk mencapai pertumbuhan secepat mungkin di tahap awal, perusahaan platform multi-partai biasanya mengeluarkan uang untuk merekrut pengguna dari kedua sisi pasar (pengemudi dan penumpang),” ujarnya.
Yoga menjelaskan, seiring pertumbuhan aplikasi dan manfaat dari efek jaringan, skema bonus secara bertahap dikurangi. Akibatnya, hanya pengemudi berkinerja tinggi yang dapat memperoleh insentif harian.
2. Jumlah pesaing atau driver ojek online meningkat secara signifikan
Berdasarkan survei, mayoritas pengemudi ojek online bekerja dari tahun 2017 hingga 2019. Saat itulah booming layanan on demand di Jakarta mencapai puncaknya.
“Asosiasi pengemudi ojek online mengklaim ada satu juta pengemudi di Metropolitan Jakarta sebelum wabah corona,” katanya.
Yoga memperkirakan 450 ribu pengemudi ojol adalah pengemudi full time dengan rata-rata jam kerja 54 jam seminggu.
“Awalnya, kehadiran platform online seperti Gojek dan Grab diharapkan dapat mendigitalkan ojek konvensional di sektor informal yang selama ini belum bisa diandalkan,” ujarnya.
Namun, survei memperkirakan 49% pengemudi ojek di Jakarta sebelumnya bekerja sebagai karyawan. Hanya 5% yang sebelumnya bekerja sebagai pengemudi ojek tidak resmi.
Sisanya berasal dari latar belakang pelajar, pengangguran, atau dari sektor informal berketerampilan rendah lainnya. Pertumbuhan lapangan kerja formal di Jakarta akan turun sebesar 5% sepanjang tahun 2021 – 2022.
3. Guncangan ekonomi akibat pandemi corona
Di masa pandemi, driver ojol bisa bertahan dengan melakukan pengiriman barang dan makanan.
Meski demikian, minimnya permintaan dan banyaknya driver ojol menyebabkan 91% ojol mengalami penurunan pendapatan yang signifikan selama pandemi.